Yang lebih mengejutkan dia adalah soal aturan petani sawit yaitu Program sarana prasarana (Sarpras) sawit untuk petani semakin gak jelas setelah terbitnya Kepdirjenbun Nomor 62/2023 tentang pedoman teknis sarpras dengan Kepdirjenbun yang lama saja serapan Sarpras tiap tahun hampir nol persen.
Yoku menuturkan salah satu pasalnya mengunci petani melalui kewajiban 30% modal kerja dari nilai investasi.
“Ini suatu kemustahilan buat kami petani sawit dengan segala keterbatasan kami, apalagi dana 30% itu harus mengendap selama satu tahun berturut-turut,” ujarnya.
Dicontohkan Yoku, saat petani sawit mengajukan dana pembangunan pabrik sawit kapasitas 15 ton TBS per jam. Kurang lebih dibutuhkan dana sebesar Rp 100 miliar yang diusulkan kepada BPDPKS (bukan APBN) melalui Ditjenbun. Ini artinya kami harus menyiapkan dana "mati" yang terendap sebesar Rp 30 miliar selama 1 tahun. Makanya petani sawit berpandangan usulan ini tidak masuk akal dan mengawang-awang.
"Jadi wajar saja usulan pabrik sawit oleh saudara kami dari Papua Barat mandek karena dikunci oleh kewajiban modal kerja 30% tersebut, demikian juga usulan PKS Mini dari Kalimantan Barat, Banten, Aceh, Sumatera Barat, semua pada balik kanan dan lemas begitu ada persyaratan tersebut,” jelasnya.