Suara.com - Masyarakat kota Pasuruan membanjiri Alun-Alun Kota Pasuruan pada pelaksanaan Haul KH Abdul Hamid ke-42 pada Senin (25/9/2023). Tak hanya warga Pasuruan, tetapi jamaah dari seluruh Indonesia pun hadir di tengah-tengah keramaian.
Adapun lebih dari 100 ribu orang yang hadir pada haul tersebut, mulai dari kiai, ulama, tokoh masyarakat, hingga tokoh penting negara pun ada dalam acara ini. Lantas siapa sebenarnya KH Abdul Hamid dari Pasuruan ini? Simak profilnya berikut ini.
Profil KH Abdul Hamid
Nama KH Abdul Hamid sudah sangat dikenal di Pasuruan karena dia adalah pengasuh Pesantren Salafiyah yang memiliki berbagai keistimewaan dan karomah. Abdul Hamid lahir pada tahun 1333 H di Desa Sumber Girang, Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Dia tumbuh besar dalam lingkungan keluarga yang sarat dengan tradisi keagamaan.
Baca Juga: Pengamat: Keluarnya PKB dari Koalisi Gerindra Tak Gerus Dukungan Kalangan NU ke Prabowo
Ayahnya, Kiai Umar, adalah seorang ulama terkemuka di Lasem, sementara ibunya adalah anak dari Kiai Shiddiq, yang juga merupakan seorang ulama terkemuka di Lasem. Kiai Shiddiq adalah ayah dari KH Machfudz Shiddiq, yang dikenal sebagai tokoh Nahdlatul Ulama (NU).
Sejak kecil, Abdul Hamid telah dipersiapkan untuk mengikuti jejak ayahnya sebagai seorang kiai. Awalnya, dia belajar Alquran dari ayahnya sendiri. Kemudian, setelah tiga tahun, Abdul Hamid melanjutkan pendidikannya di pesantren kakeknya, KH Shiddiq, di Talangsari, Jember, Jawa Timur.
Kisah Karomah KH Abdul Hamid
Sejak kecil, sudah terlihat tanda-tanda bahwa dia akan menjadi seorang wali dan ulama besar. Konon, pada usia enam tahun, dia bahkan sudah bertemu dengan Rasulullah secara nyata, bukan hanya dalam mimpi. Ini adalah keyakinan yang berkembang di kalangan warga NU, khususnya para sufi, bahwa Rasulullah pernah menampakkan diri kepada beberapa orang tertentu, terutama para wali.
Salah satu hal luar biasa yang dipercayai oleh warga Pasuruan tentang Kiai Abdul Hamid adalah kemampuannya untuk berada di dua tempat secara bersamaan dengan wujud yang serupa.
Baca Juga: Tegas! PKB Jatim Larang Kader Gunakan Nama NU untuk Politik
Kisah ini terjadi ketika Habib Baqir Mauladdawilah mengunjungi pesantrennya. Habib Baqir, yang pernah belajar dari seorang guru besar bernama al-Ustadzul Imam Al-Habr al-Quthb al-Habib Abdulqadir bin Ahmad Bilfaqih, memiliki ilmu untuk melihat hal-hal gaib.
Ketika dia bertemu dengan Kiai Abdul Hamid di tempat yang banyak dikunjungi oleh orang untuk meminta doa dan bantuan, Habib Baqir merasa terkejut. Ternyata, orang yang dia kira adalah Kiai Abdul Hamid sebenarnya adalah sesosok gaib yang menyerupai sang kiai. Habib Baqir pun mencari keberadaan sebenarnya dari Kiai Abdul Hamid dan dengan ilmu kanuragan yang dimilikinya, dia terkejut menemukan bahwa sang kiai sebenarnya sedang berada di Tanah Suci Mekkah.
Kisah lain yang menunjukkan karomah Kiai Abdul Hamid adalah saat seorang Habib yang sudah lanjut usia datang menemuinya. Habib tersebut bertanya kepadanya di mana Kiai Abdul Hamid pergi ketika digantikan oleh sesosok gaib yang menyerupainya. KH Hamid tidak menjawab, melainkan hanya memegang Habib tersebut. Tiba-tiba, Habib tersebut kaget saat melihat sekeliling mereka berubah menjadi bangunan masjid yang sangat megah.
Salah satu karomah lainnya terjadi ketika seorang santri bernama Asmawi memiliki utang kepada panitia pembangunan masjid yang sudah jatuh tempo sebesar Rp300.000 pada tahun 70-an, jumlah yang besar untuk saat itu. Asmawi tidak tahu bagaimana cara melunasi utang tersebut dan merasa malu jika ditagih. Maka, dia datang kepada Kiai Hamid untuk meminta pertolongan. Kiai Hamid dengan lembut meminta Asmawi untuk menggoyang pohon kelengkeng yang tumbuh di halaman depan rumahnya.
Di sana ada dua pohon kelengkeng. "Kumpulkan daun-daun yang gugur itu dan bawa ke sini," kata Kiai Hamid. Setelah Asmawi mengambil dan membawa daun kelengkeng tersebut, Kiai Hamid memasukkan daun-daun itu ke dalam saku bajunya.
Ketika diambil kembali, daun-daun itu berubah menjadi uang kertas di tangannya. Kiai Hamid kemudian meminta Asmawi melakukan hal yang sama pada pohon kelengkeng yang lainnya, dan hasilnya sama, daun kelengkeng tersebut berubah menjadi uang kertas. Setelah dihitung, jumlahnya mencapai Rp225.000, masih kurang Rp75.000. Tiba-tiba, seorang tamu datang dan memberikan uang tunai Rp75.000 kepada Kiai Hamid, yang kemudian diserahkan kepada Asmawi.
Kontributor : Muhammad Zuhdi Hidayat