Suara.com - Ombudsman RI menemukan kemungkinan tindakan maladministrasi BP Batam dan Pemkot Batam terkait rencana relokasi warga Kampung Tua di Pulau Rempang.
Anggota Ombudsman RI, Johanes Widijantoro menyebut, potensi maladministrasi ini ditemukan setelah lembaga tersebut meminta keterangan dari pihak terdampak dan melakukan pemeriksaan lapangan terkait Kampung Tua dengan mengacu pada SK Wali Kota Batam dengan Nomor 105/HK/III/2004 tentang Penetapan Perkampungan Tua di Kota Batam.
Tidak hanya itu, ia juga menyinggung adanya 16 Kampung Tua yang tersebar di Pulau Rempang, termasuk di antaranya Tanjung Kertang, Rempang Cate, Tebing Tinggi, Blongkeng, Monggak, Pasir Panjang, Pantai Melayu, Tanjung Kelingking, Sembulang, Dapur Enam, Tanjung Banun, Sungai Raya, Sijantung, Air Lingka, Kampung Baru, dan Tanjung Pengapit.
Ombudsman mendapatkan informasi bahwa BP Batam telah menyiapkan alokasi lahan di Pulau Rempang sekitar 16.500 hektar.
Baca Juga: Pastikan Kabar Penangkapan Ustaz Somad Tak Benar, Polri Buru Pelaku Penyebar Hoaks
Lahan ini akan dikembangkan menjadi Rempang Eco Park Pulau Rempang sebagai Proyek Strategis Nasional 2023 yang mencakup sektor industri, perdagangan, dan pariwisata.
Menurut dia, langkah ini dianggap tidak sesuai dengan ketentuan karena belum ada penerbitan Sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) oleh Kementerian ATR/BPN kepada BP Batam untuk Pulau Rempang.
"Mengeluarkan HPL harus sesuai dengan mekanisme yang berlaku, termasuk persyaratan tidak adanya kepemilikan atau bangunan di atas lahan yang dimohonkan (clear and clean). Selama belum ada Sertifikat HPL atas Pulau Rempang, relokasi warga tidak memiliki kekuatan hukum," kata dia, melalui keterangan resminya pada Senin (18/9/2023) lalu.
Dengan alasan ini, Ombudsman menentang keras segala bentuk tindakan represif dari aparat kepolisian dalam menjalankan pengamanan di Pulau Rempang. Menurutnya, penurunan ribuan aparat dengan penggunaan gas air mata dalam menanggapi penolakan masyarakat akan memperburuk konflik.
"Masyarakat di Pulau Rempang sangat terpengaruh oleh konflik yang terjadi akibat upaya relokasi, karena mereka merasa terintimidasi. Mereka takut untuk bekerja sebagai nelayan atau anak-anak yang takut pergi sekolah karena kehadiran aparat di kampung mereka," paparnya.
Baca Juga: Menteri ATR/BPN: Pulau Rempang 28 September 2023 Harus Clean and Clear
Johanes menyatakan berdasarkan penelusuran Ombudsman, masyarakat di 10 Kampung Tua di Pulau Rempang pada dasarnya mendukung investasi di sana, tetapi mereka menolak untuk direlokasi. Mereka lebih mendukung jika investasi dilakukan dengan penataan kembali Kampung Tua.
"Sosialisasi yang dilakukan BP Batam masih belum mencakup seluruh masyarakat dan memerlukan waktu lebih lama untuk meyakinkan masyarakat mengenai relokasi atau berdialog untuk mencari solusi yang tepat," tambah Johanes.
Ombudsman akan meminta klarifikasi dari BP Batam, Pemko Batam, Kementerian Investasi/BKPM, Tim Percepatan Pengembangan Pulau Rempang, serta pihak terkait lainnya untuk mengatasi masalah ini.
Selanjutnya, Ombudsman akan menerbitkan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) berisi Tindakan Korektif yang harus dilakukan oleh pihak terlapor.
"Proyek Strategis Nasional harus mematuhi mekanisme dan prosedur yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum. Oleh karena itu, Ombudsman akan melakukan pemeriksaan untuk memastikan bahwa pembangunan Rempang Eco City sudah sesuai dengan tahapan yang diatur dalam peraturan tersebut," pungkas Johanes.
Ombudsman juga akan menyelidiki kepemilikan fisik tanah masyarakat yang telah berada di Pulau Rempang selama puluhan tahun, dan akan mengkaji apakah ada kelalaian negara dalam memberikan akses kepada masyarakat untuk mendapatkan hak milik atas tanah yang telah mereka tempati secara turun temurun. Kawasan Rempang dijadwalkan untuk dikembangkan menjadi Rempang Eco City, namun konflik agraria telah muncul karena penolakan masyarakat untuk direlokasi.