Suara.com - Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI), yang juga dosen pada Universitas Pelita Harapan (UPH), Johanes Herlijanto, mengapresiasi kesepakatan negara-negara Asosiasi Bangsa-bangsa di Asia Tenggara (ASEAN) dan Cina untuk mempercepat penyelesaian pedoman tata perilaku atau disebut juga sebagai Code of Conduct (COC), di Laut Cina Selatan (LCS).
Namun demikian, ia menekankan pentingnya COC yang dihasilkan untuk tetap berlandaskan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) dan mencerminkan sikap dan kepentingan negara-negara ASEAN, khususnya negara-negara yang bersinggungan dengan klaim Cina di LCS.
Dalam pernyataan konklusif pada seminar berjudul “Pedoman Tata Perilaku (Code of Conduct) Di Laut China Selatan: Berkah Bagi China, ASEAN, Atau Seluruh Kawasan,” yang diselenggarakan oleh Forum Sinologi Indonesia (FSI) itu, Johanes menekankan penting bagi negara-negara ASEAN untuk memastikan agar Cina tidak menjadikan COC sebagai alat legitimasi bagi klaim 10 garis putus-putusnya, yang dalam beberapa dasawarsa terakhir meningkatkan ketegangan karena menerabas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) beberapa negara ASEAN.
“Sebaliknya, setiap negosiasi harus tetap menekankan penolakan klaim wilayah Cina yang ditandai oleh sembilan garis putus-putus, yang pada awal bulan ini bahkan bertambah menjadi sepuluh garis,” ungkapnya ditulis Senin (18/9/2023).
Baca Juga: Deretan Pemain ASEAN yang Merumput di Liga Belgia, Terbaru Suphanat Mueanta
Menurut Johanes, negara-negara ASEAN juga harus menolak bila Cina bersikeras untuk memasukan klausul yang membatasi kebebasan negara-negara ASEAN dalam memilih partner kerja sama untuk melakukan eksploitasi ekonomi di wilayah ZEE mereka.
“ZEE negara-negara ASEAN sah menurut UNCLOS, oleh karenanya masing-masing negara berhak menentukan akan kerja sama dengan pihak mana pun, dan tidak boleh diintervensi oleh Cina,” tuturnya.
Dalam seminar di atas, Dr. Teuku Rezasyah, Direktur Eksekutif Pusat Riset ASEAN Universitas Padjajaran Bandung, menjelaskan urgensi diwujudkannya sebuah COC pada kawasan LCS tersebut.
“Situasi di Laut Cina Selatan dapat dikatakan sangat mencekam, termasuk bagi Indonesia. Ini salah satunya karena 9 garis putus-putus (nine-dash line), yang baru saja berkembang menjadi 10 garis, menerabas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di perairan dekat Natuna dan beberapa ZEE negara-negara ASEAN lainnya,” tuturnya.
Menurut Teuku Rezasyah, perilaku dan aktivitas Cina di wilayah yang mereka klaim melalui 10 garis putus-putus itu berpotensi meningkatkan ketegangan bahkan konflik antara Cina di satu sisi dan Indonesia serta negara-negara sekitar di sisi lain.
“Padahal, klaim wilayah oleh Cina yang ditandai garis putus-putus itu tidak ada menurut UNCLOS. Klaim itu hanya berdasarkan catatan sejarah Cina, yang menganggap bahwa nelayan-nelayan mereka sudah mengunjungi wilayah tersebut sejak ratusan atau bahkan ribuan tahun lalu,” papar Teuku.
Selain tidak berdasarkan UNCLOS, klaim 9 garis putus-putus juga tidak memiliki definisi yang jelas.
“Cina memang sengaja mengaburkan agar terjadi kebingungan di kalangan negara-negara lain. Perlu dicatat bahwa Cina menganggap diri sebagai pusat dunia, sehingga negara-negara sekitar, termasuk Asia Tenggara, dalam anggapan Cina perlu dijadikan beradab. Mereka tidak boleh membuat kebijakan yang bertentangan dengan Cina,” tutur Teuku.
Ia juga menekankan bahwa seiring dengan meningkatnya kekuatan ekonomi Cina, agresivitas negara tersebut juga turut meningkat. Dalam konteks inilah, menurut Teuku, COC, yang pada intinya seruan untuk menahan diri, diupayakan untuk segera terwujud.
“Namun masih terdapat kesulitan-kesulitan, karena Cina meminta agar klaim mereka yang hanya didasarkan faktor historis semata, dan bukan berdasarkan UNCLOS, tetap dihargai,” katanya.
Teuku menekankan peran Indonesia yang sangat penting dalam upaya perwujudan COC di atas, meski dalam pandangannya jalan untuk COC betul betul terwujud sepertinya masih panjang.
Namun ia mengatakan bahwa RI perlu terus mempertahankan perannya, sebagai semacam juru bicara untuk isu isu yang berhubungan dengan Laut Cina Selatan (LCS), meski Indonesia nanti tidak lagi menjadi ketua ASEAN.
Selain itu, peran diplomatik Indonesia itu perlu dibarengi dengan peningkatan nilai tawar kekuatan, antara lain dengan meningkatkan kredibilitas militer Indonesia.
“Ini dapat dilakukan dengan memperbanyak latihan-latihan tempur dengan negara-negara yang lebih kuat,” tuturnya.
Dalam pandangannya, latihan militer Garuda Shield atau Super Garuda Shield perlu dilanjutkan.
Pembicara lain dalam seminar itu, Ristian Atriandi Supriyanto, pemerhati Hubungan Internasional Universitas Indonesia, mengatakan bahwa strategi Cina dalam konteks LCS adalah mempertahankan ambiguitas.
“Cina seolah-olah menekankan dukungan pada percepatan COC, tetapi baru saja kesepakatan percepatan COC diumumkan, Cina malah meningkatkan ekskalasi dengan merilis peta baru yang di dalamnya tercantum 10 garis putus putus yang mengklaim sebagian besar LCS—termasuk sebagian ZEE Indonesia di perairan Laut Natuna Utara—sebagai bagian dari teritori Cina,” tegas Ristian.
“Sebelumnya, armada Penjaga Pantai Cina juga meningkatkan ketegangan dengan melakukan perilaku yang tak bertanggung jawab kepada kapal-kapal pembawa pasikan Filipina, di sekitar Second Thomas Shoal, yang berada di wilayah ZEE Filipina, dengan menyemperotkan air secara kuat kepada kapal-kapal Filina itu” pungkasnya.
Meski mendukung upaya perwujudan COC yang diharapkan dapat mencegah ketegangan-ketegangan yang muncul di masa mendatang, Ristian juga khawatir bila COC yang terselesaikan justru mengakodomasi kepentingan-kepentingan Cina, sehingga Cina dapat berperilaku sewenang-wenang.
“Bila Cina berhasil mengikat negara-negara ASEAN melalui COC agar tidak melibatkan negara di luar kawasan, maka Cina dapat bertindak sewenang-wenang karena ia merupakan aktor lebih kuat dari negara-negara ASEAN,” tuturnya.
Itulah sebabnya Ristian menyatakan bahwa COC yang asal jadi harus ditolak.
“COC yang diwujudkan tidak boleh bersifat lunak, tetapi harus bisa mengekang perilaku agresif Cina,” pungkas akademisi yang sedang menyelesaikan disertasi doktor dari Australian National University itu.
Setiap pembicara dalam seminar sama sama sepakat bahwa masih banyak pertanyaan yang perlu dijawab sebelum COC terwujud. Salah satunya adalah bagaimana cara penegakan hukum dan pihak mana yang berwenang melakukan penegakan hukum bila terdapat pihak yang melakukan pelanggaran terhadap COC yang sudah disepakati.