Suara.com - Fenomena dedolarisasi kini mulai menjangkit negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Wacana dedolarisasi ini pun mulai disikapi dengan serius oleh Indonesia. Dijelaskan oleh Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo beberapa waktu lalu, pengertian dedolarisasi adalah tidak lagi menggantungkan perdagangan internasional bagi tiap-tiap negara dengan mata uang dolar.
Indonesia sudah memulai langkah dedolarisasi dengan menggenjot mata uang lokal atau local currency transaction (LCT) dalam perdagangan dengan negara mitra.
“Kata dasarnya dedolarisasi, artinya menggunakan mata uang selain dolar," ujarnya dalam konferensi pers April 2023 lalu. Hal yang sama juga banyak dilakukan oleh mitra dagang Indonesia. Hal ini juga bertujuan untuk mengurangi hubungan terhadap mata uang tunggal yakni dolar Amerika Serikat.
Sementara itu, melansir Kemenkeu Learning Center disebutkan diskursus mengenai dedolarisasi, yaitu upaya menghilangkan/mengurangi penggunaan dolar Amerika Serikat oleh ekonomi suatu negara, dimulai sejak pertengahan tahun 2022 lalu.
Baca Juga: Nilai Rupiah Menguat Terhadap Dolar AS, Risiko Masih Mengintai
Strategi dollar weaponisation yang dilakukan Amerika Serikat dengan membekukan lebih dari USD 300 miliar cadangan devisa Rusia dan mengeluarkan negara tersebut dari jaringan perbankan global (SWIFT) tidak berhasil menghentikan invasi Rusia ke Ukraina.
Sebaliknya, strategi tersebut direspon Rusia dengan menghentikan penggunaan mata uang USD untuk transaksi bilateral dengan negaranegara pendukungnya, termasuk Tiongkok, Brazil, dan India.
Tren dedolarisasi juga menjalar ke negara-negara lain, termasuk Indonesia. Tingginya tingkat inflasi dan tumbangnya beberapa bank memicu kekhawatiran akan stabilitas pasar keuangan Amerika Serikat. Dedolarisasi kemudian dianggap sebagai langkah yang perlu untuk meminimalisir efek rambatan ketidakpastian pasar keuangan global.
Di Indonesia, Bank Indonesia dalam beberapa waktu terakhir terlihat cukup gencar mengakselerasi penggunaan Local Currency Settlement (LCS) untuk mengurangi ketergantungan terhadap USD.
Namun demikian, tren dedolarisasi sepertinya belum mampu mengguncang supremasi USD sebagai mata uang global. Data IMF menunjukkan bahwa porsi cadangan devisa dalam mata uang USD hanya sedikit mengalami penurunan, dari 58.80% pada akhir kuartal IV 2021 menjadi 58.36% pada kuartal IV 2022.
Baca Juga: Sentimen Internal Positif, Kurs Rupiah Tertekan Karena Data Inflasi AS
Menariknya, penurunan ini tidak diimbangi penguatan porsi mata uang utama lainnya. Porsi cadangan devisa dalam mata uang Euro (mata uang terkuat kedua setelah USD) justru mengalami penurunan sebesar 0.12% dalam periode yang sama.
Demikian halnya dengan porsi mata uang Renminbi yang turun sebesar 0.11% dan Yen yang turun 0.01%. Kenaikan terbesar dialami mata uang lainnya, yakni naik sebesar 0.34%. Data ini menunjukkan bahwa dominasi USD masih belum tergoyahkan.
Kontributor : Nadia Lutfiana Mawarni