Suara.com - PT Freeport Indonesia (PTFI) sudah puluhan tahun menjadi perusahaan penguasa tambang di Papua. Perjalanan perusahaan Freeport dari awal di Indonesia pun bak penjelajah yang menemukan harta karun berupa ertsberg atau gunung bijih yang terdapat di lereng selatan Pegunungan Jaya Wijaya.
Melansir laman resmi ptfi.co.id, ekspedisi Freeport dilakukan sejak 1963 oleh Forbes Wilson dan Del Flint untuk menemukan kembali ertsberg di Papua. Hingga pada akhirnya di 1967 dilakukan Penandatangan Kontrak Karya (KK) 1 yang merupakan salah satu pionir PMA pertama untuk jangka waktu 30 tahun setelah beroperasi. Pada 1972 Freeport Indonesia memulai produksi penambangan dan pengolahan bijih. Pengapalan konsentrat dilakukan pada tahun berikutnya.
Tidak sampai di situ, pada 1988 Freeport menemukan cadangan grasberg di Mimika, Papua Tengah. Wilayah ini kemudian menjadi tambang emas terbesar di dunia. Dari sana, Freeport memperpanjang perjanjian Kontrak Karya (KK) II yang merupakan pembaharuan dari KK I. Kontrak yang disahkan pada 1991 ini memuat ketentuan berlaku dalam 30 tahun dan dapat diperpanjang dalam 2 x 10 tahun.
Sejak saat itu, Freeport menyelesaikan pembangunan kota Kuala Kencana di dataran rendah, suatu fasilitas dan sarana prasarana pendukung operasi produksi penambangan. Perusahaan juga memulai dana kemitraan 1% dari penjualan perusahaan bagi pengembangan masyarakat lokal yang dikelola institusi masyarakat, tambahan dari program CSR yang dilakukan langsung oleh perusahaan.
Baca Juga: KPK Usut Korupsi Lukas Enembe: Diduga Beli Jet Pribadi Hingga Tukar Uang Belasan Miliar ke Valas
Tahun 1997 Freeport melakukan penyelesaian dan pengoperasian PT Smelting di Gresik Jawa Timur, fasilitas pemurnian yang menghasilkan Katoda Tembaga pertama di Indonesia. Rata-rata 40% produksi konsentrat perusahaan dimurnikan di smelter ini.
Baru-baru ini, per 2018 Freeport menandatangani Ijin Usaha Pertambangan Khusus ( IUPK) yang merupakan perubahan bentuk dan perpanjangan usaha pertambangan sampai dengan 2041. 51,24% saham perusahaan dimiliki oleh pihak nasional Indonesia. Memulai pembangunan tambahan fasilitas pemurnian tembaga dan fasilitas pemurnian logam berharga.
Dalam pengoperasiannya, Freeport menerapkan teknik penambangan bawah tanah. Bijih hasil penambangan kemudian diangkut ke pabrik pengolahan untuk dihancurkan menjadi pasir yang sangat halus.
Selanjutnya diikuti dengan proses pengapungan menggunakan reagent, bahan yang berbasis alkohol dan kapur, untuk memisahkan konsentrat yang mengandung mineral tembaga, emas dan perak. Sisa dari pasir yang tidak memiliki nilai ekonomi (tailing) dialirkan melalui sungai menuju daerah pengendapan di dataran rendah.
Konsentrat dalam bentuk bubur disalurkan dari pabrik pengolahan menuju pabrik pengeringan di pelabuhan Amamapare, melalui pipa sepanjang 110 km. Setelah dikeringkan, konsentrat yang merupakan produk akhir PTFI ini kemudian dikirim ke pabrik-pabrik pemurnian di dalam maupun luar negeri.
Baca Juga: KPK Periksa Seorang Pramugari dalam Kasus Dugaan Pencucian Uang Lukas Enembe
Kontributor : Nadia Lutfiana Mawarni