Suara.com - Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) mendapat informasi bahwa Pemerintah akan merevisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik atau e-Commerce.
Permendag tersebut saat ini sedang diusulkan oleh Kementerian Koperasi dan UKM untuk diubah dalam bentuk melarang importasi barang pemesanan sistem online e-Commerce di bawah USD100.
Koordinator MAKI, Boyamin Saiman menjelaskan bahwa pengangkutan barang lewat pesawat udara (crossborder) ini adalah pendapatan umum (revenue generator) bagi negara dari sisi pajak, maka apabila pelarangan ini dilakukan potensi pendapatan negara dari pajak triliunan per tahun akan hilang sekitar 1,5 hingga 2,5 triliun.
Menurutnya, tanpa proses resmi seperti crossborder barang akan melalui importasi yang sulit diawasi dan dikendalikan alias penyelundupan.
Baca Juga: Bisnis Skin Care Online Indonesia 'Dikuasai' Produk China
"Sebagai gambaran crossborder itu berbasis transportasi udara (air-freight) dan melibatkan ongkos (cost logistics) yg tinggi hingga USD10 per kilogram dari awal pengangkutan (firstmile) hingga ke akhir pengangkutan (lastmile)," kata Boyamin ditulis Minggu (20/8/2023).
Biaya logistik crossborder yang mahal menjadikan hanya barang spesifik yang dapat dijual, dan biaya ini juga yang telah membuat pergeseran pola bisnis para penjual luar negeri.
Pedagang dari luar negeri saat ini cenderung berkerja sama dengan penjual lokal melakukan importasi lewat laut (sea freight) dan setibanya barang di Indonesia baru dijual di platform lokal dengan harga murah, sehingga justru ini yang mematikan bisnis UKM.
Ditambahkan olehnya, pada waktu terjadi pembatasan 18 jenis barang pada tahun 2020 oleh Kemenkop, sistem crossborder dan di antara 18 item tersebut termasuk busana muslim, faktanya di e-Commerce lokal barang yang sama masih dijual sampai saat ini dan tidak dilarang, harga jualnya pun jauh lebih murah dari harga crossborder, artinya tanpa crossborder barang itu tetap diimpor, karena tingginya permintaan, bahkan saat ini harga barang bekas impor itu bisa semakin murah karena dikirim via laut (sea-freight) dan tentunya menjadi makin laris.
Kementerian Koperasi dan UKM menurutnya sangat tergesa-gesa menyimpulkan bahwa crossborder tersebut merugikan negara dan UMKM, padahal bisnis ini adalah penopang utama sektor logistik, airlines, pergudangan, kurir, dan trucking. Bahkan di saat pandemi, maskapi nasional kita dapat terus beroperasi karena mengangkut cargo crossborder di saat ada larangan untuk mengangkut penumpang.
Baca Juga: Curhat Penjual Online Hadapi Persaingan Tak Sehat di E-commerce
Sektor e-Commerce crossborder dan logistiknya juga telah berkontribusi besar pada pemulihan perekonomian negara berkat ekspor crossborder UMKM ke 6 negara ASEAN, logistik di Indonesia saat ini juga menjadi sektor paling tinggi pertumbuhannya, berdasarkan hasil BPS untuk triwulan 1 2023 sebesar y-on-y 15,93%.
Kementerian harus cermat membedakan antara crossborder dan barang impor yg telah dijual di pasar lokal, di sinilah letak masalahnya, yaitu presepsi crossborder adalah pembunuh UMKM, padahal sejatinya importasi tidak terkontrol atau black market adalah musuh utama UMKM.
Kebijakan pelarangan saja namun tidak diiringi dengan pengawasan tidak akan efektif, apalagi rencana mematikan crossborder yg transparan dan patuh pajak tentu akan secara tidak langsung mengarahkan semua importasi menjadi sulit dikontrol, dan cenderung ilegal, sejatinya musuh bersama penyebab bangkutnya UMKM dan industri lain sejak dulu adalah importasi ilegal atau black market yang berakibat predatory pricing dan lainnya.
Menurut peneliti Indef, Wahyu Askara, plaftorm lokal e-Commerce menjual 90% barang impor dan hal ini telah disebut juga dalam banyak kajian, tanpa ada mempertanyakan apakah importasinya sesuai aturan dan terdaftar dengan deskripsi barang, kuantiti, hscode yg sesuai layaknya importasi crossborder, ini tentu lebih berbahaya daripada jalur resmi yang accountable seperti crossborder.
Untuk kebaikan negara dan mencegah kerugian negara, MAKI meminta pembatalan rencana perubahan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.