Suara.com - Ekonom Senior INDEF, Faisal Basri mengatakan, tenaga kerja asing (TKA) dari China yang bekerja di pabrik peleburan nikel (smelter) mendapatkan gaji yang jauh lebih besar daripada pekerja lokal. Bahkan, gaji yang diberikan kepada TKA tersebut bisa mencapai Rp54 juta per bulan.
"Salah satu perusahaan smelter asal China memberikan gaji antara Rp17 juta hingga Rp54 juta. Sementara rata-rata pekerja Indonesia hanya menerima upah yang lebih rendah, bahkan sekitar upah minimum," tulis Faisal Basri dalam artikel blognya.
Menurutnya, tidak semua TKA ini merupakan tenaga ahli. Beberapa di antaranya bekerja dalam posisi seperti juru masak, satpam, tenaga statistik, dan sopir. Banyak dari tenaga kerja China ini menggunakan visa kunjungan, bukan visa kerja.
Dampak dari situasi ini adalah terjadi kerugian bagi negara dalam bentuk iuran tenaga kerja sebesar 100 dolar AS per pekerja per bulan.
Baca Juga: Keterlambatan Gaji dan Dampaknya Terhadap Kesejahteraan Karyawan
"Dengan status visa kunjungan, ada kemungkinan besar bahwa pekerja China tidak membayar pajak penghasilan," katanya.
Karena itulah, ia menyatakan bahwa kebijakan hilirisasi nikel justru lebih menguntungkan industri di China.
Sebelumnya, Faisal Basri telah mengungkapkan bahwa 90 persen dari keuntungan hilirisasi nikel yang digaungkan oleh Presiden Jokowi lebih banyak dinikmati oleh China.
Hal ini terjadi karena hampir seluruh perusahaan smelter pengolahan bijih nikel dimiliki oleh China dan Indonesia mengadopsi rezim devisa bebas.
Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan China dapat mengirimkan semua hasil ekspornya ke luar negeri atau kembali ke negaranya sendiri tanpa dibatasi.
Baca Juga: 3 Peran Antagonis di Drama China Back From The Brink
Selain itu, ekspor produk olahan bijih nikel tidak dikenakan pajak atau pungutan lainnya.
"Faktanya, penerimaan pemerintah dari ekspor produk-produk smelter nikel tidak ada alias nihil," ungkap dia.
Bahkan, menurut pakar ekonomi itu, perusahaan-perusahaan nikel China di Indonesia juga tidak membayar royalti. Ini dikarenakan royalti dibayar oleh perusahaan tambang nikel yang sebagian besar adalah perusahaan nasional.
"Meskipun perusahaan smelter membayar pajak bumi dan bangunan, jumlahnya sangat kecil. Oleh karena itu, mayoritas nilai tambah dinikmati oleh perusahaan China," tambahnya.