Suara.com - Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo pasang badan soal tudingan Ekonom Senior Faisal Basri yang menyebut kebijakan hilirisasi nikel hanya menguntungkan China.
Yustinus bilang bahwa tudingan ekonom jebolan UI tersebut salah.
"Saya jawab satu hal dulu, PNBP dan royalti. Anda (Faisal) keliru ketika bilang tidak ada pungutan karena faktanya melalui PP 26/2022 diatur tarif PNBP SDA dan royalti atas nikel dan produk pemurnian," ujarnya dikutip melalui akun Twitter-nya @prastow, Senin (14/8/2023).
Yustinus pun mengklaim bahwa negara mendapatkan pemasukan dari kebijakan hilirisasi baik itu melalui penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sumber daya alam maupun royaltinya.
Baca Juga: Hilirisasi Nikel: Beda Klaim Jokowi dan Faisal Basri
Ia menjelaskan, pengenaan tarif royalti dibedakan menjadi dua jenis, yakni untuk izin usaha pertambangan (IUP) yang hanya memproduksi menjual bijih nikel sebesar 10 persen, dan untuk IUP yang memiliki smelter sehingga produknya feri nikel atau nikel matte sebesar 2 persen.
"Royalti memang pungutan yang secara konsep dan aturan dikenakan terhadap eksploitasi sumber daya alam. Ini berlaku umum. Untuk ijin usaha industri, pungutannya tentu bukan royalti, melainkan bea keluar (saat impor) dan pajak2 lain (PPh, PPN, pajak daerah, dan lain-lain)," papar Yustinus.
Terkait penerimaan perpajakan, lanjutnya, berdasarkan data Ditjen Pajak Kemenkeu, pendapatan negara dari perusahaan smelter melonjak signifikan yakni dari Rp 1,65 triliun di 2016 menjadi Rp 17,96 triliun di 2022. Nilai itu naik 11 kali lipat.
"Jika digunggung untuk industri smelter dan besi baja secara keseluruhan, juga terjadi peningkatan penerimaan, dari Rp 7,9 triliun (2016) menjadi Rp 37,3 triliun atau naik hampir 5x lipat!," katanya.
Baca Juga: Siapa Itu Faisal Basri? Sosok yang Berani 'Kuliti' Jokowi Soal Hilirisasi Nikel