Jokowi dan Faisal Basri Debat Sengit Soal Hilirisasi Nikel

Jum'at, 11 Agustus 2023 | 15:31 WIB
Jokowi dan Faisal Basri Debat Sengit Soal Hilirisasi Nikel
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi). [ANTARA/HO-Biro Pers Setpres]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan ekonom senior Faisal Basri tengah berdebat sengit soal negara mana yang diuntungkan dari adanya program hilirisasi nikel yang saat ini gencar dilakukan pemerintah Indonesia.

Faisal Basri mengatakan Indonesia sebetulnya tidak diuntungkan sama sekali dari adanya program andalan Jokowi tersebut dan menyebut China-lah yang paling diuntungkan. Namun, kekinian Jokowi membantah pernyataan ekonom Universitas Indonesia (UI) tersebut

"Hitungan dia (Faisal Basri) bagaimana. Kalau hitungan kita ya, contoh saya berikan nikel, saat diekspor mentahan setahun kira-kira hanya Rp17 triliun. Setelah masuk ke industrial downstreaming, ada hilirisasi, menjadi Rp510 triliun," katanya di Stasiun Dukuh Atas, Kamis (10/8/2023).

Jika angka yang didapat Rp510 triliun tersebut lanjut Presiden, Indonesia sudah sangat diuntungkan dari pungutan pajaknya.

Baca Juga: 12 Potret Artis Jajal LRT Bareng Presiden Jokowi, Foto Selfie Bikin Viral!

"Bayangkan saja, kalau kita ambil pajak dari 17 triliun sama yang dari Rp510 triliun besar mana? Karena dari situ, dari hilirisasi, kita akan dapatkan PPN, PPh badan, PPh karyawan, PPh perusahaan, royalti, bea ekspor, Penerimaan Negara Bukan Pajak, semuanya ada di situ. Coba dihitung saja, dari Rp17 triliun sama Rp510 triliun besar mana?" katanya

Namun pernyataan Jokowi pun disanggah oleh, Faisal Basri. Dia bilang, angka-angka yang disampaikan Presiden tidak jelas sumber dan hitung-hitungannya.

"Presiden hendak meyakinkan bahwa kebijakan hilirisasi nikel amat menguntungkan Indonesia dan tidak benar tuduhan bahwa sebagian besar kebijakan hilirisasi dinikmati oleh China," kata Faisal dikutip dari blog pribadinya, Jumat (11/8/2023).

Faisal Basri pun memaparkan sejumlah data yang ia miliki, dia bilang jika berdasarkan data 2014, nilai ekspor bijih nikel (kode HS 2604) hanya Rp1 triliun. Ini didapat dari ekspor senilai US$85,913 juta dikalikan rerata nilai tukar rupiah pada tahun yang sama yaitu Rp11,865 per US$.

"Lalu, dari mana angka Rp510 triliun? Berdasarkan data 2022, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) yang diklaim sebagai hasil dari hilirisasi adalah US$27,8 miliar. Berdasarkan rerata nilai tukar rupiah tahun 2022 sebesar 14.876 per US$, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) setara dengan Rp413,9 triliun," Papar Faisal.

Baca Juga: Sinopsis dan Jadwal Tayang The Legend of Yan Shan and Bai Hua, Tertarik Menonton?

Terlepas dari perbedaan data antara yang disampaikan Presiden dan hitung-hitungannya, Faisal mengakui memang benar adanya bahwa lonjakan ekspor dari hasil hilirisasi, yaitu 414 kali lipat sungguh sangat fantastis.

"Namun, apakah uang hasil ekspor mengalir ke Indonesia? Mengingat hampir semua perusahaan smelter pengolah bijih nikel 100 persen dimiliki oleh China dan Indonesia menganut rezim devisa bebas, maka adalah hak perusahaan China untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri," katanya.

Berbeda dengan ekspor sawit dan turunannya yang dikenakan pajak ekspor atau bea keluar plus pungutan berupa bea sawit, untuk ekspor olahan bijih nikel sama sekali tidak dikenakan segala jenis pajak dan pungutan lainnya.

"Jadi penerimaan pemerintah dari ekspor semua jenis produk smelter nikel nihil alias nol besar," katanya.

Menurut dia jika keuntungan perusahaan sawit dan olahannya dikenakan pajak keuntungan perusahaan atau pajak penghasilan badan, perusahaan smelter nikel bebas pajak keuntungan badan karena mereka menikmati tax holiday selama 20 tahun atau lebih.

"Jadi, nihil pula penerimaan pemerintah dari laba luar biasa yang dinikmati perusahaan smelter nikel. Perusahan-perusahaan smelter China menikmati “karpet merah” karena dianugerahi status proyek strategis nasional. Kementerian Keuanganlah yang pada mulanya memberikan fasilitas luar biasa ini dan belakangan lewat Peraturan Pemerintah dilimpahkan kepada BKPM," katanya.

"Apakah perusahaan smelter China tidak membayar royalti? Tidak sama sekali. Yang membayar royalti adalah perusahaan penambang nikel yang hampir semua adalah pengusaha nasional. Ketika masih dibolehkan mengekspor bijih nikel, pemerintah masih memperoleh pemasukan dari pajak ekspor," pungkasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI