IEF Research Institute: Penerapan Pajak Natura Harus Kedepankan Prinsip Keadilan

Iwan Supriyatna Suara.Com
Kamis, 10 Agustus 2023 | 12:34 WIB
IEF Research Institute: Penerapan Pajak Natura Harus Kedepankan Prinsip Keadilan
Ilustrasi pajak. (Freepik)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - IEF Research Institute - Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 66/PMK.03/2023. PMK ini adalah aturan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Perpajakan (HPP) serta Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2022.

Dengan berlakunya PMK tersebut, mulai 1 Juli 2023, pemerintah memberlakukan pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) atas natura kenikmatan (fringe benefits).

Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute Ariawan Rahmat menekankan agar penerapan aturan pajak natura kenikmatan ini mengedepankan prinsip keadilan.

Pertama, teknis administrasi penerapan kebijakan ini harus dibuat sesederhana mungkin. Ariawan mengimbau agar penerapan PMK Nomor 66 Tahun 2023 ini tidak membuat biaya kepatuhan (cost of compliance) dari sisi perusahaan menjadi lebih tinggi.

Baca Juga: Breaking News: Pemko Batam Sediakan Bus Keliling untuk Bayar PBB di Kecamatan

Ia menjelaskan, dalam memenuhi kewajiban perpajakan, setiap wajib pajak, baik badan maupun orang pribadi pasti membutuhkan usaha yang akhirnya berpengaruh pada cost of compliance, baik berupa finansial, waktu, dan tenaga. Artinya, semakin sulit administrasi perpajakan maka cost of compliance pun akan semakin tinggi.

“Pengeluaran perusahaan atas berbagai natura kenikmatan itu kini bisa dibebankan sebagai biaya pengurang pajak bagi perusahaan (deductible expense). Hal ini menggeser beban pajak dari perusahaan ke individu sebagai penerima manfaat. Jangan sampai, di sisi perusahaan, cost compliance menjadi lebih tinggi,” tutur Ariawan, Kamis (10/8/23).

Kedua, masalah lainnya yang harus diperhatikan adalah penerapan matching cost against revenue atau biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan itu sendiri.

Ariawan menegaskan, sesuai Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010, biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang dikenai final, atau penghasilan yang dikecualikan harus dipisahkan.

Adapun, prinsip matching cost against revenue menekankan perlunya menghubungkan beban biaya dengan pendapatan yang diakui pada periode yang sama. Untuk itu, Ariawan menekankan, dengan adanya PMK Nomor 66 ini, jangan sampai menimbulkan kesalahan koreksi fiskal apa bila terjadi pemeriksaan pajak.

Baca Juga: Pemerintah Berhasil Serok Pajak Digital Rp13,87 Triliun

“Harusnya, saat sudah menjadi revenue bagi karyawan, sudah mutlak menjadi cost di sisi perusahaan. Nah, jangan sampai, saat pemeriksaan terdapat koreksi fiskal biaya di perusahaan, dan kena PPh di sisi penerima manfaat. Sering kali dalam praktiknya kasusnya begitu,” kata Ariawan.

Ketiga, pengawasan yang ketat. Ariawan menyampaikan, sesuai tujuannya, pajak atas natura dan kenikmatan adalah untuk menutup celah penghindaran pajak (tax avoidance) dari wajib pajak berpendapatan tinggi yang selama ini sering mendapat natura kenikmatan dengan nilai tinggi. Di antara kalangan wajib pajak berpendapatan tinggi itu adalah golongan artis, influencer, dan endorser.

Untuk itu, Ariawan mengimbau agar pemerintah benar-benar melakukan sosialisasi dan mengawasi penerapan pajak natura kenikmatan ini ke kalangan berpenghasilan tinggi tersebut demi terciptanya keadilan bagi masyarakat.

“Aturan pajak natura kenikmatan ini juga untuk menegaskan ke kalangan influencer, artis, endorser dan lain-lain yang menerima barang atau kenikmatan dari kliennya karena adanya kontrak kerja. Misalnya, seorang artis dapat paket skin care Rp10 juta rupiah. Nah, dia harus memasukkan income itu ke dalam SPT,” jelas Ariawan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI