Suara.com - UU Anti Deforestasi yang telah ditetapkan oleh Uni Eropa (UE) belakangan disorot karena berpotensi menghambat ekspor kelapa sawit ke benua tersebut.
Menurut Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono, UU Anti Deforestasi memaksa pemerintah Indonesia mencari pasar alternatif untuk komoditas kelapa sawit.
China saat ini menjelma sebagai salah satu pasar yang menarik untuk dijadikan pengganti Uni Eropa. Alasannya, pada 2019 lalu, ekspor kelapa sawit ke China meningkat menjadi 8 juta ton, namun akibat pandemi Covid-19, angka tersebut menurun menjadi 6 juta ton.
Ia mengatakan, China bisa dipasok lebih kuat lagi untuk menjadi pasar pengganti Uni Eropa. Tahun ini, Gapki menargetkan ekspor kelapa sawit mencapai 7 juta ton, dan tahun depan di atas 8 juta ton. Pasar China memiliki potensi yang cukup besar dan menjanjikan.
Selain China, pasar non tradisional juga menjadi opsi sebagai pengganti pasar Uni Eropa. Gapki telah mulai menjajaki pasar non tradisional seperti Rusia dan India.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, menyatakan bahwa akibat kebijakan UU Anti Deforestasi Uni Eropa, ekspor Indonesia senilai sekitar US$ 6,7 miliar berpotensi terhambat.
Dampak UU Anti Deforestasi Uni Eropa juga akan dirasakan secara langsung oleh sekitar 8 juta petani kopi, kelapa sawit, karet, kakao, kayu, dan produk turunannya di Indonesia.
Pada tanggal 16 Mei 2023, Uni Eropa memberlakukan UU Anti Deforestasi yang mencakup tujuh komoditas, termasuk kelapa sawit, kopi, daging, kayu, kakao, keledai, dan karet.
Baca Juga: Kasus Korupsi CPO, Eks Mendag Muhammad Lutfi Bakal Diperiksa Kejagung Lagi Selasa Depan