Suara.com - Staf Khusus Menteri Keuangan,Yustinus Prastowo, memberikan tanggapan terhadap beberapa kritikan yang disampaikan oleh Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Salah satu kritikan AHY adalah tentang meningkatnya utang pemerintah dan BUMN selama pemerintahan Jokowi.
Dalam responsnya, Prastowo menyatakan bahwa pidato AHY mengandung pesimisme, meskipun ekonomi Indonesia telah diakui sebagai "bright spot" di tengah krisis ekonomi global. Prastowo menawarkan 14 poin sanggahan sebagai bentuk diskursus yang sehat dan terbuka.
"Pidato politik yang menggelitik. Saat dunia menjuluki kita 'bright spot' di tengah suramnya ekonomi global, tudingan 'mandek' bahkan mundur hanya menebar pesimisme," kata Prastowo, dikutip pada Senin (31/7/2023).
Selanjutnya, Prastowo menyebut bahwa pembangunan infrastruktur harus dipercepat untuk meningkatkan konektivitas, mengurangi biaya logistik, dan mendorong sektor ekonomi baru, sehingga daya saing dapat meningkat dan kesejahteraan dapat merata.
Baca Juga: Faktor Ekonomi Jadi Penyebab Angka Putus Sekolah, Masih Tinggi, Begini Solusinya
Prastowo juga menyampaikan data terkait belanja pemerintah untuk perlindungan sosial, petani, dan UMKM, serta berbagai program pemberdayaan melalui subsidi bunga, UMi, KUR, Prakerja, dan pelatihan di BLK.
Dia menyoroti dukungan terhadap UMKM, subsidi non energi, dan kebijakan Skema Subsidi Resi Gudang untuk mendukung petani mendapatkan harga terbaik atas hasil panen mereka.
Prastowo menegaskan bahwa perekonomian Indonesia tumbuh 5,3 persen pada 2022, yang merupakan yang tertinggi dalam satu dekade terakhir dan lebih kuat dari rata-rata kawasan regional. Dia juga mengakui adanya pengaruh dan dampak pandemi Covid-19 serta dinamika perekonomian global.
Poin selanjutnya mencakup stabilitas pertumbuhan ekonomi RI sebelum pandemi, serta pembangunan infrastruktur dan subsidi perpajakan yang dilakukan pemerintah untuk meringankan penderitaan rakyat.
Prastowo menyatakan bahwa pemerintah tidak berdalih terhadap utang, melainkan mematuhi amanat Undang-Undang yang membatasi jumlah pinjaman maksimal 60 persen dari PDB.
Baca Juga: Tak Hanya Sektor Kesehatan, Polusi Udara Bisa Sebabkan Ekonomi RI Rugi
Terakhir, dia menyampaikan bahwa menghentikan utang yang terkendali dapat menghambat kesempatan untuk berbelanja pada sektor prioritas, karena alokasi anggaran telah meningkat pada sektor-sektor seperti infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial.