Suara.com - Direktur Amnesty International, Usman Hamid mengkritisi penanganan kasus korupsi yang melibatkan Kepala Badan SAR Nasional (Basarnas), Marsekal Madya Henri Alfiandi.
Sebagaimana diketahui sebelumnya, KPK telah menetapkan Henri Alfiandi sebagai tersangka dalam dugaan korupsi pengadaan barang di Basarnas, dengan nilai mencapai Rp 88,3 miliar sejak 2021 hingga 2023.
Namun, terjadi polemik karena Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI menyatakan keberatannya atas penetapan tersangka Henri yang berstatus prajurit TNI aktif oleh KPK. Puspom TNI berpendapat bahwa proses hukum terhadap Henri Alfiandi seharusnya dilakukan oleh mereka, bukan oleh KPK, meskipun jabatan Kepala Basarnas adalah jabatan sipil. Akibatnya, KPK kemudian menyerahkan kasus yang melibatkan Henri Alfiandi ke Puspom TNI.
Usman Hamid menyoroti situasi Henri Alfiandi yang merupakan prajurit TNI aktif yang menduduki jabatan sipil dan menekankan bahwa prajurit tersebut juga harus tunduk pada hukum sipil. Menurutnya, ini mencerminkan inkonsistensi kebijakan.
Baca Juga: Polemik OTT Basarnas: KPK Disebut Memalukan, Jokowi sampai Diminta Turun Tangan
Dijelaskan dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, jabatan sipil hanya dapat diisi oleh prajurit yang telah pensiun atau mundur, sebagaimana diatur dalam Pasal 47 ayat (1).
Namun, Pasal 47 ayat (2) mengizinkan sejumlah jabatan sipil yang diisi oleh prajurit aktif, termasuk beberapa kantor yang berkaitan dengan politik, keamanan negara, pertahanan, dan lembaga lainnya seperti Basarnas. Namun, di dalam lingkungan lembaga tersebut, prajurit harus tunduk pada ketentuan administrasi yang berlaku.
Usman Hamid menekankan bahwa Basarnas adalah lembaga dengan jabatan sipil dan karena itu, kasus hukum yang melibatkan pejabat Basarnas seharusnya ditangani oleh peradilan sipil.
Ia juga menyoroti Pasal 42 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang memberikan wewenang kepada KPK untuk mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi oleh siapa pun yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.
Usman Hamid beranggapan, Henri Alfiandi harus diproses secara militer berangkat dari Pasal Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dan seharusnya sudah tidak relevan dengan berbagai undang-undang yang lebih baru di atas.
Baca Juga: KPK Minta Maaf di Kasus Kabasarnas, TB Hasanuddin PDIP: OTT Anggota TNI Aktif Sah-sah Saja, Asal...