Suara.com - Praktik jual-beli video gay anak di bawah umur bisa terjadi di media sosial. Orang dewasa perlu waspada sehingga anak-anak mereka terhindar menjadi korban. Video gay anak atau biasa disebut sebagai video gay kid (VGK) biasanya menampilkan aktivitas menyimpang anak-anak, berusia mulai 7 – 15 tahun dengan orang dewasa.
Video ini pun diperjualbelikan secara bebas di dunia maya. Target konsumennya adalah orang-orang dengan orientasi seksual menyimpang.
Penyebaran video gay anak banyak terjadi di kanal media sosial. Di Instagram, ketika mengetikkan kata video gay kids, banyak akun-akun dengan nama sama muncul.
Akun yang terkunci itu menawarkan jasa jual-beli video gay anak. Harganya pun cukup murah, yakni mulai Rp30.000 dan bisa dibayar hanya dengan sekali transfer. Lebih berbahaya lagi lantaran dalam video tersebut ada kemungkinan pelaku jual-beli juga membongkar identitas pribadi sang anak.
Baca Juga: Heboh Oknum Satpol PP Dharmasraya LGBT, Foto dan Video Bermesraan Sesama Cewek Beredar di Medsos
Bukan Kasus Baru
Kasus jual-beli video gay anak di bawah umur di media sosial sebenarnya bukan bentuk kejahatan baru. Sebelumnya, kasus serupa pernah terjadi sekitar 2017 silam.
Saat itu, Polda Metro Jaya berhasil mengungkap jaringan penyebar video gay kid (VGK) yang menjual konten pornografi anak laki-laki di bawah umur lewat akun Twitter Asian Boys. Jaringan perdagangan konten tersebut telah menjangkau 49 negara antara lain Indonesia, Malaysia, Arab Saudi, dan Amerika Serikat.
Jaringan Asian Boys membentuk grup-grup di Whatsapp dan Telegram. Para pembeli konten pornografi bisa menjadi member dari grup-grup tersebut untuk kemudian mengkonsumsi konten pornografi anak secara bebas.
Atas kejadian tersebut, aparat bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) melakukan pelacakan terhadap akun-akun penjualan VGK untuk kemudian melakukan take down atau penghapusan dari internet.
Banyak motif yang melatarbelakangi maraknya kasus penjualan VGK. Dalam kasus yang sama, tiga orang yang ditetapkan sebagai tersangka mengaku motif mereka bukanlah uang atau keuntungan materi. Kelompok penjual video adegan porno anak-anak dengan lelaki dewasa sejenis itu dulu ternyata pernah menjadi korban pencabulan.
Dengan demikian, ada motif mencari kepuasan atas tindakan asusila tersebut. Kejadian ini membuat polisi bekerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) serta pihak swasta untuk mencegah kasus-kasus pornografi yang melibatkan anak-anak.
Kontributor : Nadia Lutfiana Mawarni