Suara.com - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) buka suara terkait dengan tiga perusahaan sawit yang tersandung kasus korupsi. Kasus ini membuat khawatir para pengusaha di industri kelapa sawit.
Ketua Umum Gapki, Eddy Martono mengatakan, kasus yang mendera tiga perusahaan sawit itu akan berdampak pada terganggunya iklim investasi sawit di Indonesia.
"Kami sangat prihatin anggota kami terkena kasus itu. Kok sampai begini? Mereka sudah patuh dan melaksanakan kebijakan pemerintah kok dipidana. Kalau kasus ini terus berlanjut ini bisa berdampak pada terganggunya iklim investasi," ujar Eddy yang dikutip, Kamis (20/7/2023).
Eddy menjelaskan bahwa Sawit dan CPO menyumbang devisa sangat besar. Penegakan hukum harus dilakukan secara hati-hati dan tidak sampai berdampak pada terganggunya bisnis termasuk nasib jutaan buruh dan petani yang bergantung pada sektor ini.
"Semua anggota GAPKI itu patuh terhadap kebijakan pemerintah, di mana saat itu kebijakan pemerintah berubah-ubah sangat cepat dan kami patuh terhadap itu. Kalau pemidanaan terus berlanjut, investasi kita tidak kondusif, tidak ada kepastian hukum. Nantinya kami akan jauh lebih hati-hati. Pengusaha akan takut bila ada kebijakan yang berubah-ubah karena ujungnya kami yang disalahkan ketika melaksanakan kebijakan itu," kata dia.
Seperti diketahui, Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan tiga perusahaan sebagai tersangka dalam perkara tindak pidana korupsi minyak goreng terkait pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan turunnya pada Januari 2021 - Maret 2022.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kejagung) Ketut Sumedana mengatakan bahwa kerugian negara akibat kasus izin ekspor CPO berdasarkan keputusan kasasi dari Mahkamah Agung yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap yakni Rp 6,47 triliun.
Kuasa hukum para tersangka Marcella Santoso menegaskan bahwa tuduhan tindak pidana korupsi harus didasarkan pada bukti kerugian negara hasil audit BPK. Yang terjadi, tuduhan telah terjadi kerugian negara didasarkan pada hasil perhitungan ahli, bukan hasil audit ahli BPK.
"Frasa dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dalam pasal 2 ayat 1 dan pasal 3 UU Tipikor harus dibuktikan dengan kerugian keuangan negara yang nyata atau actual loss, bukan potensi atau perkiraan kerugian keuangan negara atau potensial loss," jelas Marcella.
Lebih lanjut Marcella menambahkan bahwa hingga saat ini belum ada hasil perhitungan kerugian negara oleh BPK baik dalam perkara terdahulu maupun perkara ini dengan korporasi sebagai subyek hukum.
"Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No 4 Tahun 2016, hanya BPK yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian negara. Bahkan BPKP pun tidak boleh menyatakan ada tidaknya kerugian negara," imbuh Marcella.