Suara.com - Perkembangan terkini baik di dalam maupun luar negeri dinilai membawa dampak positif bagi studi mengenai Republik Rakyat Cina (RRC) di Indonesia. Pada satu sisi, iklim demokrasi yang makin terbentuk di era reformasi ini membawa kebebasan bagi dilaksanakannya kajian tentang Cina (disebut sebagai sinologi) yang semasa periode Orde Baru diawasi secara ketat oleh pemerintah.
Pada sisi lain, datangnya era yang disebut sebagai era kebangkitan Cina dan meningkatnya hubungan antara Indonesia dan Cina membuat studi sinologi makin dibutuhkan. Demikian disampaikan oleh Profesor A. Dahana, guru besar purna bakti studi Cina Universitas Indonesia, yang juga pendiri dari Forum Sinologi Indonesia (FSI), dalam sebuah seminar daring bertajuk “Sinologi di Indonesia: Sejarah, Perkembangan, dan Tantangannya di Masa Kini,” yang diselenggarakan oleh FSI.
Selain Profesor A Dahana, hadir pula Prof Dr. Hermina Sutami, guru besar aktif pada program studi Cina Universitas Indonesia, Ketua Forum Sinologi Indonesia yang juga Pengajar/Dosen di Universitas Pelita Harapan Johanes Herlijanto, M.Si., Ph.D.
Webinar tersebut dipandu oleh Muhammad Farid, alumni studi Cina UI yang kini mengajar di Jurusan Hubungan Internasional President University. Dalam pemaparannya, Dahana menyampaikan sejarah berdirinya disiplin sinologi tersebut.
Baca Juga: Warner Bros Klarifikasi Peta Laut Cina Selatan di Film Barbie yang Picu Kemarahan Pemerintah Vietnam
“Yang dapat kita sebut sebagai sinolog paling awal antara lain adalah Marco Polo, yang menceritakan tentang kehidupan di Cina semasa Dinasti Yuan kepada penduduk Genoa, saat ia menjadi tawanan di kota itu,” tutur Dahana ditulis Kamis (13/7/2023).
Ia menyampaikan bahwa penuturan Marco Polo tersebut belakangan dituliskan menjadi sebuah buku berjudul The Travels of Marco Polo oleh Rustichello.
“Belakangan, antara abad ke 15 hingga 18, para pekabar injil dari Eropa berdatangan ke Cina untuk memberitakan injil,” lanjutnya.
Menurut Dahana, di antara para misionaris tersebut terdapat Jesuit Matteo Ricci dan Michele Riggieri. Keduanya, menurut Dahana, patut disebut sebagai pelopor disiplin Sinologi.
Namun pada saat itu, menurut penjelasannya, Sinologi belumlah terpisah dari upaya misi keagamaan. Barulah pada awal abad ke-20. sinolog Perancis terkemuka, Edouard Chavannes, memperkenalkan kuliah-kuliah sejarah China di College de France.
Baca Juga: 5 Rekomendasi Film Terbaru di KlikFilm Juli 2023, dari Denmark hingga Kolombia
Sejak saat itu Sinologi sebagai suatu ilmu tersendiri lambat-laun berkembang dengan metodologi modern. Sesuai dengan zamannya, sasaran Sinologi pada masa awal itu adalah kebudayaan, sejarah kuno, dan karya-karya klasik Konfusianis dan aliran filsafat lainnya di China.
Studi mengenai Cina kembali mengalami perkembangan sejak berdirinya RRC dan perang dingin antara blok Barat dan Timur. Sinologi yang hanya menekankan pada sejarah, budaya dan filsafat Cina kuno dianggap kurang mengikuti perkembangan zaman.
Sebagai jawaban, sejak saat itu muncullah studi yang mengangkat tema-tema sosial, ekonomi, dan politik Cina kontemporer. Berkaitan dengan berkembangnya fokus pada isu-isu kontemporer itulah muncul istilah Studi Cina (Chinese Studies), sebuah terminologi yang selama sekitar lebih dari 40 tahun kemudian lebih popular ketimbang istilah Sinologi.
Berdasarkan penjelasan Dahana, Sinologi juga mengalami perkembangan yang menarik di tanah air.
“Di Indonesia, kajian mengenai Cina mulai berkembang pada periode akhir zaman kolonial, khususnya sejak dasawarsa pertama abad yang lalu, ketika minat terhadap masalah-masalah Cina kontemporer mulai berkembang, terutama di kalangan orang-orang Tionghoa. Munculnya minat tersebut dipengaruhi oleh perkembangan politik di negeri tersebut, khususnya setelah mencuatnya nama dua orang tokoh politik terkemuka, yaitu Kang Youwei dan Dr. Sun Yat-sen,” tutur Dahana.
Menurutnya, pada akhir dekade pertama abad yang lalu, di Batavia berdirilah asosiasi yang menamakan dirinya Soe Po Sia (Shubaoshe, secara harfiah berarti Ruang Baca), yang menjadi tempat berhimpunnya golongan muda etnik Tionghoa yang mengadakan diskusi-diskusi tentang segala perkembangan yang terjadi di Cina.
Sementara itu, kurang lebih pada waktu yang sama, Pemerintah Hindia Belanda juga mendirikan sebuah badan yang diberi nama Kantoor voor Chineesche Zaken (Kantor Urusan China), yang bertugas antara lain sebagai pemberi saran kepada pemerintah kolonial dalam berhubungan dengan masyarakat Tionghoa.
“Namun munculnya Sinologi di Indonesia sebagai suatu kegiatan akademik barulah terjadi setelah Perang Dunia II berakhir, setelah dua sarjana hukum Belanda, Prof. Dr. Van der Valk dan Dr. Mr. Meyer, mendirikan Sinologische Instituut (Lembaga Sinologi) dengan dibantu oleh Dr. R.P Kramers pada tahun 1947,” tutur Dahana.
“Sesuai dengan namanya, lembaga yang mereka dirikan itu bertujuan mendidik ahli-ahli China dalam tradisi Sinologi,” jelasnya.
Generasi pertama sinolog Indonesia yang dihasilkan oleh lembaga di atas kebanyakan berlatar belakang etnik Tionghoa, antara lain adalah Sie Ing Djiang, Li Chuan Siu, Tan Lan Hiang, dan Tan Ngo An.
“Belakangan, lembaga yang menjadi cikal bakal Program Studi Cina Universitas Indonesia itu diperkuat dengan kedatangan Profesor Tjan Tjoe Som, sinolog tamatan Universitas Leiden yang memilih mengabdi di negaranya, alih alih menjadi profesor di negeri Belanda,” tutur Dahana.
“Profesor Tjan Tjoe Som dan sinolog Indonesia generasi pertama itulah yang melahirkan para sinolog-sinolog generasi berikutnya, termasuk Profesor Gondomono, Dr. Ignatius Wibowo, dan jurnalis senior Rene Pattiradjawane,” kata Dahana.
Namun Dahana menyayangkan kecenderungan akhir-akhir ini, seiring dengan era kebangkitan Cina, yang menurut beliau cenderung melemahkan Sinologi.
“Kini makin banyak jurusan yang menamakan diri jurusan atau program studi Cina, namun hanya menitikberatkan pada pengajaran bahasa Mandarin,” katanya.
Selain itu, Dahana juga menyatakan keprihatinan dengan kecenderungan pengamat-pengamat tertentu yang kehilangan sikap kritis dalam melakukan kajian terhadap Cina.
“Padahal penting bagi bangsa Indonesia untuk memperoleh pengetahuan yang obyektif tentang Cina, yang diperoleh melalui proses belajar yang kritis,” tuturnya.
Senada dengan Profesor Dahana, Profesor Hermina Sutami mengatakan bahwa studi Cina merupakan merupakan kegiatan ilmiah mempelajari negara Tiongkok/Cina di bidang tertentu.
Sedangkan sinologi merupakan ilmu pengetahuan di bidang tertentu mengenai negara Tiongkok/Cina. Dalam pandangan beliau, studi Cina atau sinologi saat ini menghadapi banyak tantangan. Antara lain bagaimana mempelajari bahasa Mandarin sesuai dengan fungsi mempelajari bahasa asing.
Fungsi tersebut, menurut Sutami, antara lain sebagai alat komunikasi dengan bangsa lain, mempercepat proses pembangunan bangsa dan negara Indonesia, serta memanfaatkan ilmu dan teknologi negara asing yang bahasanya dipelajari dalam menghadapi persaingan bebas.
Tantangan lainnya adalah bagaimana mengembangkan studi Cina guna memahami negara Tiongkok dari pelbagai bidang ilmu agar terjalin hubungan harmonis antara Indonesia dengan Tiongkok.
Selain itu ketertkaitan sinilogi dan upaya agar terjalin hubungan harmonis antar orang Indonesia keturunan Tionghoa dan Non Tionghoa di Indonesia juga merupakan tantangan yang masih perlu dihadapi.
Akhirnya, dalam konteks pembelajaran bahasa Mandarin, Sutami menekankan pentingnya mengembangkan metode pengajaran bahasa Mandarin untuk pembelajar Indonesia dengan memasukan local wisdom.
“Ini merupakan tantangan tersendiri yang tidak boleh diabaikan,” tuturnya.
Sementara itu, Ketua FSI Johanes Herlijanto menekankan pentingnya kesetaraan dalam hubungan Indonesia Cina. Kesetaraan itu, menurutnya dapat dicapai antara lain dengan terus memperoleh pemahaman yang obyektif dan kritis terhadap Cina.
Johanes juga mendorong agar semakin banyak pelajar dan kaum terdidik di Indonesia turut serta mengembangkan kajian kritis terhadap Cina.
“Harapan kami agar baik orang Tionghoa maupun non Tionghoa semakin berminat mempelajari sinologi, sebuah kajian akademik yang menjadikan sejarah, sosial, politik, ekonomi, dan prilaku hubungan internasional Cina sebagai obyek studinya,” pungkas Johanes.