Wacana Pelarangan Total Iklan Rokok Berimbas Mematikan Industri Ekonomi Kreatif

Iwan Supriyatna Suara.Com
Rabu, 05 Juli 2023 | 19:57 WIB
Wacana Pelarangan Total Iklan Rokok Berimbas Mematikan Industri Ekonomi Kreatif
Ilustrasi rokok batangan (Pixabay/Chefchen)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Maraknya wacana pelarangan total aktivitas iklan rokok untuk menekan prevalensi perokok anak, dinilai salah sasaran mengingat rokok masih merupakan produk legal.

Sehingga iklan merupakan merupakan bagian dari aktivitas komunikasi dalam menunjang keberlangsungan usaha. Upaya investasi dalam hal periklanan juga merupakan hal yang legal serta turut dijamin dan diatur oleh peraturan perundang-undangan.

“Menjadikan iklan rokok sebagai penyebab tingginya prevalensi perokok anak adalah bentuk simplifikasi yang tidak adil. Pada praktiknya, kami di industri periklanan sudah sangat ketat mematuhi aturan-aturan terkait iklan rokok, mulai dari tidak menayangkan adegan aktivitas merokok, produk, hingga soal jam tayang. Yang menjadi pertanyaan, ketika iklan rokok sudah sedemikian rigid-nya, anak-anak bisa terpapar iklan rokok, ini sudah masuk ke dalam ranah privat. Fungsi pengawasan yang patut dievaluasi,” ujar Ketua Ikatan Rumah Produksi Iklan Indonesia (IRPII), Ari Uno ditulis Rabu (5/7/2023).

Ari Uno melanjutkan salah satu pemasukan terbesar industri periklanan, yang merupakan sub sektor ekonomi kreatif, berasal dari industri hasil tembakau. Maka, ketika dorongan bagi iklan total terjadi, hal ini akan mengakibatkan gap ekonomi yang luar biasa. Di sisi lain, belum ada industri pengganti yang nilainya sama dengan industri hasil tembakau.

Baca Juga: Harap-harap Cemas Petani Tembakau Gegara RUU Kesehatan

“Dampak ekonominya sangat besar. Pelarangan total iklan akan berujung pada ketimpangan ekonomi yang pada akhirnya akan menimbulkan chaos. Dengan demikian, pelarangan total iklan, promosi, dan sponsorship bukanlah jawaban atas permasalahan saat ini,” tegas Ari Uno.

Senada, Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Syafril Nasution, menuturkan bahwa wacana pelarangan total iklan bukanlah solusi berkelanjutan terhadap upaya penurunan prevalensi perokok anak.

Ia menekankan bahwa pelarangan total iklan rokok menyebabkan dampak langsung bagi ketersediaan peluang kerja bagi masyarakat yang terlibat di hulu hingga hilir industri pertembakauan yang masih diakui secara legal.

“Ada ratusan ribu tenaga kerja yang akan terdampak dengan pelarangan total iklan rokok. Mengampanyekan pelarangan total iklan rokok sangat mempengaruhi indikator pertumbuhan ekonomi mengingat belanja iklan industri rokok turut membantu pertumbuhan industri periklanan dan media kreatif,” ujar Syafril.

Menurutnya, yang terpenting kaitannya dengan upaya penurunan prevalensi perokok anak adalah evaluasi fungsi pengawasan terhadap penjualan rokok bagi anak di bawah umur 18 tahun.

Baca Juga: Kronologi Penangkapan Empat Pemakai Tembakau Sintetis di Purbalingga

Dengan kontribusi belanja iklan mencapai Rp. 4.5 trilliun di semester I 2022 menurut data Nielsen, maka dapat dilihat bahwa kontribusi industri rokok juga menopang keberlangsungan industri media kreatif.

Ketua Badan Musyawarah Etika Dewan Periklanan Indonesia (DPI), Hery Margono, memaparkan bahwa tembakau dan hasil tembakau (rokok) merupakan barang legal yang mendapat izin edar. Sebagai produk legal, rokok seharusnya diperbolehkan untuk diiklankan, sesuai dengan aturan yang berlaku. Hal ini akan menjadi aneh jika dalam sebuah rancangan peraturan, rokok dilarang total untuk diiklankan.

"Sebagai barang legal, pelaku usaha telah melakukan investasi untuk mengembangkan industri hasil tembakau. Dalam ekosistemnya, ada periklanan sebagai bagian dari media kreatif, yang secara sah di mata hukum diperbolehkan aktivitasnya dengan menaati pembatasan yang ada," ujar Hery.

Berdasarkan data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) pada tahun 2021, terdapat enam subsektor yang terkait dengan industri hasil tembakau, yaitu mulai dari subsektor desain, film/video, musik, penerbitan, periklanan, hingga subsektor penyiaran (TV dan radio), yang secara kolektif mempekerjakan lebih dari 725.000 tenaga kerja.

"Oleh karena itu, jangan ada lagi peraturan yang bersifat eksesif dan tidak melindungi ekosistem pertembakauan secara menyeluruh karena berpotensi menyebabkan kerugian besar bagi sejumlah subsektor industri ekonomi kreatif. Kami berharap pemerintah dapat memberi ruang, perlindungan, dan jaminan keberlangsungan berusaha bagi subsektor industri kreatif," tambahnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI