Suara.com - Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) bersikap tegas usai Dana Moneter Internasional (IMF) meminta Jokowi agar membatalkan kebijakan ekspor serta hilirisasi nikel dan bahan mineral lainnya.
Menurut dia, pendekatan yang digunakan IMF dalam permintaannya kepada Jokowi adalah tidak masuk akal. Ia juga menganggap permintaan IMF tersebut telah mengganggu kedaulatan Indonesia sebagai bangsa.
"Saya pikir kita harus melawan cara seperti ini dan tidak lagi memberikan tempat yang baik bagi mereka di negara ini. Mereka tidak perlu campur tangan dalam urusan Indonesia," ujar Bahlil pada Jumat (30/6/2023).
Dalam kesempatan yang sama, ia juga memertanyakan alasan IMF dalam meminta Jokowi untuk menghentikan kebijakan larangan ekspor mineral mentah yang telah dilakukan. Bahlil juga menegaskan bahwa pemerintah tidak akan terperangkap dalam jebakan IMF lagi.
Baca Juga: Sri Mulyani Bawa Kabar Buruk dari Eropa
Bahlil mengingatkan tentang pengalaman Indonesia pada tahun 1998 ketika menghadapi krisis moneter dan menjalankan rekomendasi yang diberikan oleh IMF.
Menurutnya, saat itu rekomendasi IMF menyebabkan penutupan perusahaan Dirgantara Indonesia, penghentian bantuan sosial, dan melemahnya daya beli masyarakat. Inilah awal dari industrialisasi bunga kredit yang meningkat dan mengakibatkan kebangkrutan hampir semua pengusaha.
Bahlil berpendapat bahwa IMF seharusnya memberikan saran-saran yang berguna bagi negara yang sedang mengalami kegagalan, bukan kepada Indonesia.
Pada Minggu (25/6/2023) lalu, secara mengejutkan, IMF melalui IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia meminta Presiden Jokowi untuk mempertimbangkan pelonggaran pembatasan ekspor nikel dan komoditas lainnya.
Dalam laporan tersebut, IMF sebenarnya menyambut baik ambisi Indonesia untuk meningkatkan nilai tambah dalam ekspor mineral dan menarik investasi asing melalui kebijakan larangan ekspor tersebut.
IMF juga mendukung langkah Indonesia dalam memfasilitasi transfer keterampilan dan teknologi. Namun, mereka mencatat bahwa kebijakan harus didasarkan pada analisis biaya-manfaat yang lebih lanjut dan dirancang untuk meminimalkan dampak lintas batas.