Suara.com - “Usaha ini dimulai dari 15 tahun lalu, sekitar 2007. Namun, jauh sebelum itu, usaha ini sudah diturunkan dari ibu saya, kakak kemudian saya sendiri,” ucap Parjiyem menjelaskan awal perjalanan dari usaha mikro kecil menengah (UMKM) Sinar Sawah.
Parjiyem adalah satu dari sekian pelaku UMKM yang diundang dalam Bazaar UMKM BRILian, sebuah event yang dipersembahkan oleh BRI untuk mendukung UMKM di wilayah DI Yogyakarta.
Berawal dari usaha keluarga yang dirintis sang ibu, bisnis keripik belut yang dijalankan oleh keluarga Parjiyem ternyata menarik perhatian banyak kalangan hingga membuat mereka ingin belajar langsung kepada keluarganya.
“Banyak orang yang datang untuk belajar cara membuat keripik belut yang enak,” ungkap Parjiyem saat diwawancarai Suara.com pada Jumat (16/6/2023) lalu.
Secara terbuka, Parjiyem dan keluarga memberikan sejumlah tips agar pengolahan keripik belut bisa lebih maksimal dan sesuai selera. Namun demikian, ia menegaskan, semua orang yang mendatanginya bebas membuat kreasi tanpa memberikan rahasia resep keluarganya.
Pada awal usahanya, Parjiyem yang sebelumnya hanya membantu ibu dan saudaranya membuat keripik belut lantas tertarik untuk memulai bisnisnya sendiri.
“Pertama kali saya membuat keripik belut itu menggunakan 25 kilogram belut yang kemudian diolah dan dipacking apa adanya. Karena masih awal, jadi ya uji coba pasar dulu,” ungkapnya.
Jika dulu dalam sehari hanya memproduksi sekitar 25 kilogram saja per hari. Kini, UMKM Sinar Sawah bisa memproduksi hingga 1,5 kwintal atau 150 kilogram.
Seiring dengan pesatnya usaha yang ia bangun, usaha yang awalnya hanya diproduksi bersama suaminya itu hingga memiliki 8 orang karyawan.
Baca Juga: Dukung UMKM Naik Kelas, Tahun Ini Pemkot Medan akan Bangun Rumah Kemasan
Sayangnya, hantaman wabah Virus Corona memaksa Parjiyem untuk memangkas pengeluaran hingga kini hanya ada tiga karyawan yang bekerja di usahanya tersebut.
“Saat COVID-19 itu, omzetnya anjlok parah dan bahkan sampai sekarang belum sepenuhnya pulih,” ujar dia.
Tekanan ekonomi yang disebabkan oleh Pandemi COVID-19 juga membuat Parjiyem kehilangan .
“Reseller sama sekali tidak beli, di pasar tidak terjual karena lockdown dan pesanan juga sangat sepi. Dalam satu bulan biasanya produksi hingga enam kali sekitar 5 kwintal, saat pandemi itu hanya satu kali saja sekitar satu kwintal,” ujar dia.
“Benar-benar jatuh waktu itu. Keuangan usaha terpukul,” lanjut dia.
Meski terpukul cukup keras, Parjiyem terus berusaha agar usahanya bisa terus beroperasi. “Sedih, waktu itu. Apalagi kalau lihat karyawan, sebenarnya tidak ingin merumahkan. Tapi kondisi ekonomi kami juga sulit,” ujar Parjiyem.
Omzet yang dihasilkan kala pandemi COVID-19 turun cukup parah dibandingkan sebelum wabah itu menyebar.
“Saat pandemi itu, dalam satu bulan omzet kurang dari Rp3 juta. Padahal, sebelum pandemi COVID-19, dalam satu bulan kami bisa menghasilkan omzet hingga Rp10 juta dalam sebulan bahkan lebih,” ujar Parjiyem.
Kegigihan Parjiyem terbayar lunas. Kini usaha yang resepnya adalah warisan keluarganya itu bisa terus berlanjut meski dihadang berbagai cobaan. Salah satunya kelangkaan bahan baku.
Parjiyem menuturkan, berbeda dengan dulu. Saat ini, ia kesulitan mendapatkan pasokan belut dari Sleman dan sekitarnya.
Menurut dia, kini belut sawah makin langka. Jika dulu para pencari belut bisa mendapatkan lebih dari satu kilogram dalam semalam, kini untuk mendapatkan setengah kilogram saja sulit.
“Sementara, kebutuhan belut makin banyak karena selain kami juga ada banyak pengusaha yang mengolah belut menjadi berbagai olahan makanan,” ujar dia.
Saat ini, Parjiyem mendapatkan pasokan belut dari Jawa Timur karena kualitasnya yang dianggap bagus.
Untuk satu kilogram belut, kata Parjiyem, bisa diolah untuk menjadi 500 gram keripik belut dengan kualitas grade A. Sementara untuk kualitas di bawahnya, dari satu kilogram belut bisa diolah menjadi 700-900 gram keripik.
“Menyesuaikan kualitas. Untuk grade A memang yang paling mahal karena kualitasnya, sedangkan yang di bawahnya pasti lebih terjangkau,” ujar dia.
Parjiyem mengatakan, tidak hanya produk dari usahanya. Ia juga terus berusaha untuk mengembangkan diri agar UMKM yang ia bangun bisa terus berkembang.
Hal ini juga tidak lepas dari dukungan yang diberikan oleh BRI sebagai bank BUMN nomor satu dalam program pengembangan UMKM.
Parjiyem adalah satu dari jutaan pelaku UMKM di Indonesia yang merasakan manfaat dari KUR BRI. Pasalnya, dia pernah merasakan susahnya pinjam uang dari rentenir.
“Saya sudah tiga kali mendapatkan KUR BRI. KUR dari BRI itu benar-benar menolong pelaku UMKM seperti saya. Dulu, sebelum tahu ada program ini (KUR BRI), sekitar tahun 2016 itu saya sering pinjam uang ke rentenir keliling,” ujar dia.
Dengan bunga yang cukup tinggi, keberadaan para rentenir itu tentu sangat mencekik para pelaku UMKM.
“Terus terang, karena pendidikan rendah, jadi waktu itu takut untuk pinjam ke bank. Tidak hanya saya tapi juga banyak teman-teman saya,” kata Parjiyem.
“Setelah merasakan (KUR BRI), sekarang benar-benar merasakan manfaatnya,” imbuh dia.
Tidak hanya keripik belut, UMKM Sinar Sawah yang dibangun oleh Parjiyem juga membuat berbagai kreasi makanan khas Yogyakarta seperti keripik melinjo dan pare krispi.