Suara.com - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2022. Hasil pemeriksaan 82 Laporan Keuangan Kementerian Lembaga (LKKL) dan Laporan keuangan Bendahara Umum Negara (LKBUN) menunjukkan opini WTP atas 81 LKKL dan LKBUN.
Namun, satu LKKL, yaitu Laporan Keuangan (LK) Kementerian Komunikasi dan Informatika Tahun 2022 memperoleh opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP).
"Selain itu, guna meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan APBN Tahun 2022, BPK juga menyampaikan Laporan Hasil Reviu Pelaksanaan Transparansi Fiskal yang secara umum menunjukkan bahwa Pemerintah telah memenuhi sebagian besar kriteria transparansi fiskal berdasarkan praktik terbaik internasional," kata Ketua BPK Isma Yatun pada penyampaian LHP LKPP Tahun 2022 dan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2022 kepada kepada Pimpinan DPR, Selasa (20/6/2023).
Sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung telah menetapkan Johnny G. Plate sebagai tersangka dalam kasus korupsi pembangunan menara BTS jaringan 4G dan infrastruktur pendukung BAKTI Kominfo pada Kamis (17/5/2023).
Baca Juga: BPK Cium Anggaran Bengkak di Mega Proyek Kereta Cepat, KAI Terancam Boncos
Johnny dijerat Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Menko Polhukam Mahfud MD menjelaskan kronologi kasus dugaan korupsi pengadaan menara BTS dan infrastruktur pendukung BAKTI Kominfo yang menyeret mantan Menkominfo Johnny G Plate.
Mahfud yang merupakan Plt Menkominfo ini mengatakan awal masalah dari proyek senilai Rp28 triliun itu terjadi ketika pemerintah mencairkan anggaran awal senilai Rp10 triliun pada 2020.
"Muncul masalah sejak anggaran tahun 2020, yaitu ketika proyek senilai 28 sekian triliun itu dicairkan dulu sebesar 10 koma sekian triliun pada tahun 2020-2021," kata Mahfud.
Setelah anggaran cair pemerintah kemudian meminta laporan dan pertanggungjawaban pengerjaan proyek pada Desember 2021. Namun, hingga waktu tersebut belum ada menara yang dibangun oleh pelaksana proyek.
Pandemi Covid-19 disebut Mahfud jadi alasan pelaksana proyek gagak memenuhi kewajiban pengerjaan proyek. Seharusnya, kata Mahfud, hal itu tidak boleh secara hukum.
"Padahal uangnya sudah keluar tahun 2020-2021, minta perpanjangan sampai Maret (2022). Seharusnya itu tidak boleh secara hukum, tetapi diberi perpanjangan 21 Maret," ujarnya.
Lalu pada Maret 2022, pengelola proyek mengaku telah mendirikan 1.100 dari target 4.200 menara BTS. Namun, setelah dicek secara langsung, hanya ada 958 menara BTS.
Mahfud menyebut penegak hukum memeriksa kelayakan 958 menara BTS tersebut dengan mengecek delapan menara sebagai sampel, namun tidak ada yang berfungsi baik.
"Dari 958 [menara BRTS] itu, tidak diketahui apakah itu benar bisa digunakan atau tidak karena sesudah diambil delapan sampel dan itu semuanya itu tidak ada yang berfungsi sesuai dengan spesifikasi," katanya.
Plt Menkominfo itu mengatakan penegak hukum menaksir uang yang terpakai baru sekitar Rp2 triliun dari Rp10 triliun yang dicairkan. Dengan demikian ada sekitar Rp8 triliun yang lenyap dalam proyek tersebut.
"Dianggap benar yang sudah keluar itu semua hanya Rp2,1 triliun atau berapa gitu sehingga yang Rp8 triliun itu uangnya masih ngelayap ke mana-mana," ujarnya.