Suara.com - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif merespons status tersangka kepada 9 pegawainya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait korupsi tunjangan kinerja atau tukin.
Arifin pun bersiap akan melakukan pemecatan kepada 9 anak buahnya dari status Pegawain Negeri Sipil (PNS).
"Kalau sudah masuk ranah hukum, itu tentu saja kita taati aturannya. Secara status pasti akan putus dari status kepegawaian mereka," katanya di Jakarta, Jumat (16/6/2023).
Ia mengatakan sebelum penetapan status tersangka terhadap 9 pegawainya itu dilakukan KPK, Kementerian ESDM sebenarnya sudah melakukan proses internal terhadap mereka.
Baca Juga: Sri Mulyani Tanggapi Korupsi Tukin di Kementerian ESDM
Sebelumnya, KPK mengungkap kronologi dugaan korupsi pemotongan tunjangan kinerja atau tukin di Kementerian ESDM. Kasus itu megakibatkan kerugian negara sebesar Rp 27,6 miliar.
KPK setidaknya menetapkan 10 orang pegawai Bagian Keuangan Direktorat Jenderal Mineral Kementerian ESDM sebagai tersangka.
Mereka adalah Priyo Andi Gularso (Subbagian Perbendaharaan/PPSPM), Novian Hari Subagio (Pejabat Pembuat Komitmen), Lernhard Febian Sirait (Staf PPK), Abdullah, (Bendahara Pengeluaran), dan Christa Handayani Pangaribowo (Bendahara Pengeluaran).
Kemudian, Haryat Prasetyo (PPK), Beni Arianto (Operator SPM), Hendi (Penguji Tagihan), Rokhmat Annashikhah (PPABP), dan Maria Febri Valentine (Perekaman Akuntansi).
Ketua KPK Firli Bahuri menyebut kasus ini berawal saat Kementerian ESDM merealisasikan pembayaran Belanja Pegawai berupa tunjangan kinerja sebesar Rp 221,9 miliar pada rentang 2020 sampai dengan 2022.
Baca Juga: KPK Sebut Kasus Dugaan Korupsi Tukin Pegawai Kementerian ESDM Rugikan Negara Rp 27,6 Miliar
"Selama periode tersebut, para pejabat perbendaharaan serta pegawai lainnya di lingkup Bagian Keuangan Direktorat Jenderal Mineral, yakni Tersangka LFS (Lernhard) dan kawan-kawan yang berjumlah 10 orang diduga memanipulasi dan menerima pembayaran tunjangan kinerja yang tidak sesuai ketentuan," kata Filri dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (15/6/2023).
Dalam proses pengajuan anggarannya, diduga tidak disertai dengan data dan dokumen pendukung, serta melakukan manipulasi, diantaranya mengkondisikan Daftar Rekapitulasi Pembayaran dan Daftar Nominatif. Hal itu dimintakan Priyo Andi kepada Lernhard dengan berkata, 'Dana diolah untuk kita-kita dan aman.
Mereka kemudian menyisipkan nominal tertentu kepada 10 orang secara acak, serta pembayaran ganda atau lebih kepada 10 orang yang telah ditentukan.
"Sehingga dari jumlah tunjangan kinerja yang seharusnya dibayarkan Rp 1,3 miliar, namun dibayarkan sebesar Rp 29 miliar," tuturnya.
Selisih pembayaran tersebut kemudian diterima para tersangka dengan nilai yang berbeda-beda, Priyo Andi menerima Rp 4,75 miliar, Novian Hari Subagio Rp 1 miliar, Lenhard Febian Rp 10 miliar, Abdullah Rp 350 juga dan Christa Handayani Rp 2,5 miliar.
Kemudian Haryat Prasetyo Rp 1,4 miliar, Bendi Arianto Rp 4,1 miliar, Hendi Rp 1,4 miliar, Rokhmat Rp 1,6 miliar, dan Maria Rp 900 juta.
Firli mengungkap, uang yang diperoleh para tersangka diduga dipergunakan untuk berbagai keperluan, diantaranya pemeriksaan BPK sekitar Rp1,035 miliar, serta dana taktis untuk operasional kegiatan kantor.
Para tersangka juga menggunakan untuk kepentingan pribadi, diantaranya untuk kerja sama umroh, sumbangan nikah, THR, pengobatan, pembelian aset berupa tanah, rumah, indoor volley, mess atlit, kendaraan, dan logam mulia.
"Dengan adanya penyimpangan tersebut, diduga telah mengakibatkan kerugian negara sekurang kurangnya bernilai sekitar Rp 27,6 miliar," kata Firli.
Guna proses penyidikan, KPK melakukan penahanan kepada 9 dari 10 tersangka selama 20 hari kedepan di rumah tananan KPK, terhitung sejak sejak 15 Juni sampai 4 Juli 2023. Sementara satu tersangka tidak ditahan karena dalam kondisi sakit.
Para tersangka dijerat dengan dijerat dengan Pasal 2 Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.