Suara.com - Salah satu kunci kelangsungan industri otomotif di Indonesia adalah meningkatnya penggunaan kendaraan listrik (EV), yang kini tengah dilakukan di Indonesia, termasuk di dunia.
Hal ini menjadi kesimpulan dari diskusi lintas pemangku kepentingan pemerintah Indonesia terkait kendaraan listrik, yang dilaksanakan oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) beserta kementerian dan lembaga terkait di Jakarta, Rabu (31 Mei 2023).
Saat ini, Indonesia merupakan pasar otomotif terbesar di kawasan Asia Tenggara. Industri otomotif juga menjadi salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia, yang menampung sekitar 1,5 juta pekerja dan berkontribusi kepada PDB sebanyak 4%. Sementara itu, nilai ekspor industri otomotif Indonesia mencapai Rp70 triliun pada tahun 2022.
Hadir sebagai narasumber dalam acara diskusi bertajuk “Kebijakan Percepatan Adopsi EV Guna Mendukung Keberlangsungan Industri Otomotif di Era Transisi Energi” adalah Tenaga Ahli Utama Deputi Bidang I Kantor Staf Presiden Hageng Nugroho, Kepala PKAPBN Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Wahyu Utomo, dan Kasubdit Industri Alat Transportasi Darat Direktorat Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan (IMATAP) Kemenperin, Dodiet Prasetyo.
Baca Juga: Menko Airlangga: Indonesia Siap jadi Penyedia Baterai Kendaraan Listrik Amerika
Selain itu, Direktur Konservasi Energi Kementerian ESDM Gigih Udi Atmo, Sesditjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Ida Nuryatin Finahari, Direktur Sarana Transportasi Jalan, Ditjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, Danto Restyawan
Tak ketinggalan, Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa, Associate dan Country Coordinator IISD di Indonesia Lucky Lontoh, Peneliti ICCT Tenny Kristiana, serta Managing Director dan Senior Partner BCG Yulius juga hadir sebagai penanggap.
Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi, Rachmat Kaimuddin mengatakan bahwa Indonesia siap menangkap peluang ekonomi industri kendaraan listrik agar bisa menjadi pusat industri kelas dunia.
“Dengan berkembangnya pasar kendaraan listrik di dunia yang diiringi oleh kebutuhan dunia untuk solusi transportasi yang lebih ramah lingkungan serta potensi pasar dan sumber daya Indonesia yang besar. Saat ini kita dihadapkan dengan golden opportunity untuk menjadi mitra global perusahaan EV terkemuka untuk menjadi pusat manufaktur EV kelas dunia,“ ujar Rachmat.
“Namun golden opportunity ini tidak akan ada selamanya, karena negara-negara lain juga menyebarkan karpet merah dan kita harus bersaing dengan mereka untuk menarik para pemain ini. Jika gagal, kita hanya menjadi pasar saja dan bukan produsen. Jangan sampai industri jutaan lapangan kerja dari industri otomotif Indonesia terancam karena kita terlambat melakukan transformasi industri, " tambahnya.
Baca Juga: Nyore: Bukan Sekedar Mobil Listrik, Sekarang Ada Angkot dan Juga Truk Sampah yang Futuristik
“Failure is not an option. Untuk itu kita harus bisa mengantisipasi kebutuhan para mitra ini untuk mempermudah mereka mengambil keputusan strategi bisnis ke depan,” kata Rachmat lagi.
Kaimuddin juga mengurai upaya pemerintah Indonesia untuk menarik pemain raksasa global EV ke Indonesia. Tak tanggung-tanggung, pemerintah telah menjalin hubungan dengan beberapa pemain raksasa yang setengah dari produksi global.
Menurut Bloomberg Energy Forum, tahun lalu pangsa pasar penjualan EV dunia telah mencapai 14%. Angka ini melampaui ambang batas 10% yang merupakan tipping point atau titik kritis pertumbuhan pasar EV eksponensial. Titik kritis biasanya menunjukan lonjakan pertumbuhan yang besar untuk periode kedepan.
Agar tak tertinggal di kawasan, Indonesia telah menerbitkan program Bantuan Pemerintah untuk pembelian sepeda motor listrik dan insentif PPN Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) untuk pembelian mobil dan bis listrik (BEV) dalam rangka meningkatkan keterjangkauan harga EV yang memenuhi syarat Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).
Direktur eksekutif IESR Fabby Tumiwa menambahkan, “Untuk menarik investasi pada kendaraan listrik, maka perlu diciptakan permintaan pasar (demand). Saat ini permintaan kendaraan listrik di Indonesia masih kecil.Ini menjadi sinyal bagi investor manufaktur bahwa pasar kendaraan listrik punya prospek tumbuh di jangka pendek.”
Kenaikan produksi dan penjualan EV juga seiring dengan pergeseran minat konsumen terhadap produk yang lebih ramah lingkungan. Selain itu, nilai jual kendaraan EV yang mampu menghemat biaya operasional, juga menjadi salah satu faktor penentu. Oleh karena itu Indonesia akan merangkul transisi EV.
Pemerintah pun optimistis dengan peran industri EV dalam mendukung kepentingan nasional Indonesia lainnya, seperti peningkatan keamanan energi, efisiensi anggaran negara, dan pengurangan emisi.
Peneliti ICCT, Tenny Kristiana menekankan, berdasarkan studi ICCT yang akan diluncurkan dalam waktu dekat, emisi EV di Indonesia jauh lebih rendah dibanding kendaraan konvensional.
“Saat ini pengurangan emisi kendaraan EV dibanding kendaraan konvensional ada di sekitaran 50%," ujar Tenny.
Kristiana menambahkan di tahun 2021, emisi EV di Tiongkok dan India lebih rendah dibanding kendaraan konvensional, yaitu sebesar 48 persen sampai 68 % untuk China dan antara 30 - 56 % untuk India.
Associate dan Country Coordinator IISD, Lucky Lontoh juga mengangkat potensi EV dalam meringankan beban subsidi BBM Indonesia.
“Ketegangan geopolitik mempengaruhi harga BBM dunia. Adopsi EV dapat mendukung upaya memperkuat ketahanan energi Indonesia,” jelasnya.
Namun pengembangan industri EV dalam negeri masih dihadapkan dengan dua tantangan besar. Pertama, bagaimana Indonesia dapat meningkatkan kapasitas manufaktur dan kedua, bagaimana Indonesia dapat meningkatkan permintaan domestik terhadap EV.
Managing Director dan Senior Partner BCG, Yulius mengatakan bahwa saat ini sudah banyak negara maju dan berkembang yang telah memberikan kebijakan insentif terkait kendaraan listrik dengan harapan bisa menjadi produser kendaraan listrik di negaranya.
“Pertanyaannya, Indonesia: apakah kita menjadi konsumen saja atau kita jg ada ambisi untuk jadi hub production dari kendaraan listrik? Saya mengapresiasi pemerintah indonesia yang sudah memiliki keinginan untuk menjadi produsen ataupun hub dari basis produksinya,” ujar Yulius.
Yulius menambahkan bawah industri otomotif saat ini sedang mengalami transformasi ‘generational opportunity’ yang datang sekali dalam waktu tiga puluh tahun dimana produsen mobil sedang melakukan pergantian radikal jenis bahan bakar otomotif.
“Banyak negara berlomba-lomba untuk mengundang OEM (Original Equipment Manufacturer) untuk membangun industri di negara mereka, karena kalau tidak dipilih sebagai yg pertama, mungkin akan menunggu 5-10 tahun ke depan,” imbuh Yulius.