Suara.com - Kebiasaan masyarakat untuk berbelanja online semakin meningkat meskipun badai pandemi telah berakhir. Selain berbelanja melalui platform belanja online atau e-commerce, masyarakat kini juga mulai berbelanja online melalui kanal media sosial - fenomena ini juga dikenal sebagai social commerce.
Berdasarkan data Social Commerce 2022 oleh DSInnovate, pasar social commerce di Indonesia pada 2022 mencapai angka US$8,6 miliar. Dengan estimasi pertumbuhan tahunan sekitar 55%, dan diperkirakan bakal menyentuh US$86,7 miliar pada 2028.
Pengamat Media Sosial, Enda Nasution mengatakan definisi social commerce yaitu platform media sosial yang menyediakan fitur untuk transaksi, maka sekarang di Indonesia yang bisa dibilang ada social commerce hanya di Tiktok.
“Jadi sebenarnya social commerce itu terbagi dua, on platform transaksi dilakukan di atas platform (TikTok) dan off platform, transaksi via bank transfer atau lain seperti IG, FB, WhatsApp,” ungkap Enda ditulis Selasa (30/5/2023).
Terkait keamanan transaksi, Enda juga berkomentar semua transaksi belanja pasti ada risikonya. Namun, apabila ada pihak ke-3 yang dapat memastikan dan menjamin keamanan transaksi akan lebih baik. Misalnya peran marketplace seperti Tokopedia dan Bukalapak.
“Sebaiknya masyarakat harus lebih berhati-hati dalam berbelanja online, ada beberapa hal yang membuat banyak korban terjerat penipuan di social commerce. Pertama ada faktor kurang hati-hati. Misalnya pengguna media sosial melihat ada barang yang dijual sangat murah langsung nafsu ingin beli, tidak dicek lagi apakah penjualnya kredibel atau tidak," tambah Enda.
Terkait hal ini, banyak dari para pembeli yang menjadi korban tidak dapat mengajukan komplain di kolom komentar dan DM (direct message) ke pemilik akun.
Lebih lanjut Enda mengatakan maraknya penipuan online shop di media sosial terjadi karena konsekuensi risiko bagi penipu yang lebih kecil ketimbang saat penipu harus bertemu langsung dengan calon korban.
"Kalau di media sosial kan gampang, penipu bisa menghapus atau memblokir korbannya. Risiko tertangkapnya jauh lebih rendah dan upaya penindakannya yang lebih sulit," jelas Enda.
Baca Juga: TikTok Shop: Revolusi dalam Bisnis Jual Beli atau Hanya Trend Sementara?
Di tempat berbeda, Plt Dirjen Perlindungan Konsumen dan tertib Niaga (PKTN) Kemendag, Moga Simatupang mengatakan secara bisnis, social commerce menyediakan fitur tersendiri untuk melakukan perdagangan, seperti Facebook Marketplace dan Instagram Shop.
“Berdasarkan model kegiatan platform social commerce tersebut, kami menghimbau kepada masyarakat atau konsumen agar melakukan transaksi di platform yang memiliki sistem yang dapat menjamin pengembalian pembayaran dari platform apabila barang tidak diterima oleh pembeli atau tidak sesuai yang diiklankan,” jelasnya.
Moga mengatakan dalam konteks ini kegiatan yang dilakukan di social commerce menjadi berisiko tinggi terjadi penipuan apabila pembeli melakukan pembayaran kepada pihak yang tidak dikenal melalui transfer uang kepada penjual/ pengiklan sedangkan barang belum diterima dan tidak ada jaminan dari platform apabila terjadi penipuan.
“Terkait dengan isu ini, kami menghimbau kepada konsumen agar memindahkan transaksi ke platform marketplace yang sudah menyediakan fasilitas rekening bersama,” kata Moga.
Di berbagai negara, platform social commerce seperti TikTok pun kerap disorot. Belum lama ini misalnya, seorang mantan karyawan perusahaan induk TikTok, ByteDance, mengklaim bahwa perusahaan asal China itu berupaya mencuri dan mengambil keuntungan dari konten orang lain di seluruh dunia, termasuk Facebook dan Instagram.
Yu juga mengatakan dalam pengaduannya bahwa ByteDance memanfaatkan pengguna palsu untuk membesar-besarkan matriksnya dan berfungsi sebagai alat propaganda yang berguna untuk Partai Komunis China.
Selain itu, Montana resmi menjadi negara bagian Amerika Serikat pertama yang memblokir total TikTok di perangkat pribadi karena alasan keamanan. Sebelumnya, Montana sudah memblokir TikTok di perangkat milik pemerintah pada Desember lalu.
Di sisi lain, survei terbaru yang dirilis oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) turut menunjukkan bahwa penjual juga masih lebih mempercayai platform e-commerce untuk berjualan online dibandingkan platform social media seperti TikTok.
Sebanyak 73,73% pelaku usaha menggunakan Tokopedia untuk berjualan, 38,81% menggunakan Lazada dan 34,33% menggunakan Shopee. Sementara, hanya 10,15% yang menggunakan semua atau beberapa media sosial.