Putusan MK Perpanjang Masa Jabatan Petinggi KPK Tidak Adil dan Penyalahgunaan Wewenang

M Nurhadi Suara.Com
Minggu, 28 Mei 2023 | 08:46 WIB
Putusan MK Perpanjang Masa Jabatan Petinggi KPK Tidak Adil dan Penyalahgunaan Wewenang
Ilustrasi KPK - Aturan Pemulangan Pegawai KPK Brigjen Endar Priantoro [Antara]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Fahri Bachmid, seorang pakar hukum tata negara dan konstitusi dari Universitas Muslim Indonesia, mengkritik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai perpanjangan masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menurutnya multitafsir.

Menurut Fahri, putusan MK tersebut tidak memberikan dasar konstitusional yang jelas bagi pimpinan KPK saat ini sebagai lembaga yang memiliki wewenang transisi hingga Desember 2024. 

Fahri berpendapat bahwa sulit untuk menghubungkan putusan MK dalam kasus nomor 112/PUU-XX/2022 dengan keabsahan pimpinan KPK saat ini. Putusan tersebut tidak memberikan solusi sebagai konsekuensi dari permohonan yang diajukan.

Fahri melihat bahwa pimpinan KPK saat ini mungkin belum bisa sepenuhnya memanfaatkan keputusan MK tersebut. Dia meyakini bahwa putusan MK bersifat prospektif, hanya berlaku ke depan dan tidak berlaku surut.

Baca Juga: 3 Fakta Salsabila Syaira yang Digosipkan Dekat dengan Firli Bahuri Juga Disebut Memiliki Hubungan Istimewa dengan Pengamat Politik Ini

"Dengan demikian, Presiden sebagai kepala negara akan menghadapi situasi yang sangat kompleks dan membutuhkan kewaspadaan yang tinggi," jelasnya, Sabtu (27/5/2023).

Dia menganggap pertimbangan MK mengenai hal-hal transisi dalam putusan ini sangat minim dan tidak masuk akal.

Ketika membaca pertimbangan hukum dan amar putusan yang terkait dengan alasan perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK saat ini, menurut Fahri, hal tersebut menjadi membingungkan.

"Ini yang menyebabkan perdebatan. Idealnya, hal ini seharusnya telah diantisipasi melalui putusan MK," ujarnya.

Fahri juga mempertanyakan standar ganda MK dalam memandang kebijakan hukum terbuka (open legal policy). Dalam pertimbangan hukum, MK menyatakan bahwa meskipun pengaturan mengenai masa jabatan pimpinan KPK adalah kebijakan hukum yang ditetapkan oleh pembentuk undang-undang, prinsip kebijakan hukum atau open legal policy dapat diabaikan jika bertentangan dengan moralitas, rasionalitas, dan menyebabkan ketidakadilan yang tidak dapat diterima.

Baca Juga: Terasa Janggal, Pakar Sebut Perpanjangan Masa Jabatan Pimpinan KPK Sarat Kepentingan Politik

"Ini merupakan penyalahgunaan wewenang atau dilakukan secara sewenang-wenang dan melebihi kewenangan pembentuk undang-undang," katanya dengan tegas.

Melalui putusan tersebut, Fahri merasa bahwa MK telah menunjukkan ketidakadilan. Menurutnya, MK tidak mengambil sikap yang sama terkait gugatan ambang batas pencalonan presiden yang merupakan kebijakan terbuka atau open legal policy.

"Konsistensi dan sikap hukum MK menjadi sangat penting dalam menegakkan konstitusi," ujarnya.

Selain itu, Fahri khawatir bahwa putusan perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK akan memicu permohonan serupa di masa mendatang.

Dia melihat kemungkinan adanya gugatan terkait perbedaan masa jabatan pimpinan di beberapa lembaga atau komisi negara.

Diketahui bahwa MK telah menerima gugatan yang diajukan oleh Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, mengenai perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK dari 4 tahun menjadi 5 tahun. Melalui putusan tersebut, Ketua KPK, Firli Bahuri, dan lainnya akan tetap menjabat hingga tahun depan atau selama masa Pemilu 2024.

Hakim MK, M. Guntur Hamzah, setuju bahwa masa jabatan pimpinan KPK seharusnya disamakan dengan pimpinan 12 lembaga nonkementerian atau badan negara tambahan di Indonesia seperti Komnas HAM, KY, dan KPU, yaitu 5 tahun.

MK berpendapat bahwa pengaturan masa jabatan pimpinan KPK yang berbeda dengan masa jabatan pimpinan/anggota komisi atau lembaga independen, terutama yang memiliki pentingnya secara konstitusional, telah melanggar prinsip keadilan, rasionalitas, penalaran yang wajar, dan bersifat diskriminatif. Keadaan tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

Oleh karena itu, menurut MK, masa jabatan pimpinan KPK seharusnya disamakan dengan masa jabatan komisi dan lembaga independen yang termasuk dalam kategori komisi dan lembaga dengan pentingnya secara konstitusional, yaitu 5 tahun, untuk memenuhi prinsip keadilan, kesetaraan, dan persamaan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI