Suara.com - Profesor A Dahana, pendiri sekaligus penasihat Forum Sinologi Indonesia (FSI) meminta bangsa Indonesia untuk tetap kritis dalam memandang Tiongkok.
"Boleh memuji dan menghargai sukses pemerintah RRC dalam usahanya menjadikan negara dan bangsanya besar. Tetapi kritiklah hal-hal yang menurut kita tidak cocok, khususnya dengan aturan dalam pergaulan antar bangsa,” kata Dahana dalam sebuah acara diskusi berjudul Menakar Ulang Kuasa Lunak Tiongkok di Indonesia: Sebuah Tinjauan Kritis,” ditulis Senin (22/5/2023).
Dahana menganggap bahwa melalui upaya meningkatkan kuasa lunaknya di pelbagai negara, termasuk Indonesia, Tiongkok sedang berusaha menjelma menjadi sebuah kekuatan imperial budaya. Namun Dahana mengingatkan bahwa selain berupaya menanamkan kuasa lunak, Tiongkok juga beruapaya menjalankan kuasa keras (hard power).
Menurutnya, ini terlihat dari sepak terjang Tiongkok di Laut Cina Selatan dan dari berbagai pelanggaran Tiongkok terjadap hak berdaulat Indonesia yang berada di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEE) di perairan dekat kepulauan Natuna.
Baca Juga: Heboh! Jusuf Hamka Meradang Ketika Hary Tanoesoedibjo Keluarkan Statement Seperti Ini
Pembicara utama dalam diskusi tersebut, Dr. R. Tuty N Mutia, pengajar senior pada Program Studi Cina Universitas Indonesia, mengatakan bahwa Tiongkok telah berupaya meningkatkan kuasa lunaknya di Indonesia, antara lain melalui diplomasi publik dalam bidang budaya dan akademik, meningkatkan kerja sama dalam bidang akademik dan vaksin, dan memanfaatkan sejarah dengan mengungkapkan kembali memori kedekatan dua bangsa. Namun menurut Tuty, ketiganya belum menunjukan hasil yang positif bagi peningkatan citra Tiongkok.
Masih menurut Tuty, Tiongkok juga menggunakan beberapa strategi lainnya, antara lain, merangkul umat Islam melalui pemberian beasiswa untuk para santri. Menurutnya strategi ini tak dapat dilepaskan dari upaya Tiongkok meredam isu Hak Asasi Manusia yang menimpa penduduk Muslim di Uyghur. Sebagai hasil dari strategi ini, terdapat sebagian alumni Tiongkok menyuarakan keunggulan Tiongkok akhir akhir ini
Strategi lain yang diungkapkan Tuty adalah pendirian Konfusius Institut (disebut di Indonesia sebagai Pusat Bahasa Mandarin, PBM) yang dalam satu dasawarsa belakangan aktif memberikan beasiswa untuk mempelajari Bahasa Mandarin. Namun berbeda dengan strategi di atas, strategi ini kurang membuahkan hasil.
“Para siswa penerima beasiswa cenderung memanfaatkan PBM hanya untuk penguasaan bahasa agar menunjang studi atau karirnya,” tutur Tuty.
Namun demikian, Tuty mengingatkan agar pemerintah Indonesia mengawasi persebaran dan aktivitas PBM mengingat kurangnya muatan berbasis budaya dan masyarakat Indonesia dalam pengajaran mereka.
“PMB seharusnya memperbanyak muatan lokal dalam materi ajar dan aktivitasnya, sehingga manfaat kehadirannya akan lebih bisa dirasakan,” pungkasnya.
Sementara itu, terkait dengan etnis Tionghoa, Tuty mengkritisi ajakan Tiongkok agar Tionghoa menjadi jembatan bagi hubungan Tiongkok dan Indonesia.
"Ajakan ini tidak selalu ditanggapi positif oleh Tionghoa. Pernah dalam seminar ada Tionghoa yang mengatakan,'bagaimana kalau saya tidak mau jadi jembatan?'," pungkas Tuty.
Ia pun menyatakan bahwa Tionghoa tidak harus menjadi jembatan dalam hubungan Indonesia dan Tiongkok.
Dalam pandangan Tuty, secara umum upaya Tiongkok meningkatkan soft power nya di Indonesia kurang memperoleh hasil maksimal. Menurutnya, salah satu penyebabnya adalah narasi yang digunakan yang hanya memperlihatkan keunggulan Tiongkok.
“Narasi itu cenderung mengedepankan ‘keunggulan’ Tiongkok sehingga lebih terasa sebagai upaya ‘sinifikasi’ (pencinaan),” tutur Tuty.
Sementara itu Johanes Herlijanto, pemerhati Tionghoa asal Universitas Pelita Harapan yang juga ketua FSI, menyoroti posisi komunitas Tionghoa dalam upaya Tiongkok meningkatkan soft power nya di Indonesia.
Sejalan dengan Tuty, Johanes pun menekankan pada adanya upaya Republik Rakyat Tiongkok (RRT) untuk merangkul komunitas Tionghoa untuk kepentingan peningkatan hubungan Indonesia dan Tiongkok dengan mendorong mereka menjadi jembatan.
Mengutip tulisan Charlotte Setijadi, Johanes mengatakan bahwa setidaknya sebagian dari pebisnis Tionghoa, khususnya dari generasi senior, tidak berkeberatan menjalani peran sebagai jembatan bagi hubungan kedua negara.
Namun yang menarik, ketika Tiongkok ingin merangkul Tionghoa Indonesia lebih dalam lagi, antara lain dengan menekankan hubungan khusus antara Tionghoa dan Tiongkok, sebagian komunitas Tionghoa justru melakukan penolakan.
“Seperti dicatat oleh Profesor Leo Suryadinata dalam berbagai tulisannya, beberapa pengusaha Tionghoa dan kaum muda Tionghoa menolak, bahkan mengkritisi upaya Tiongkok mengingatkan mereka akan hubungan mereka dengan Tiongkok sebagai ‘negeri leluhur,’” tutur Johanes.
Inilah yang menyebabkan Johanes beranggapan bahwa upaya Tiongkok menjadikan etnik Tionghoa sebagai bagian kuasa lunaknya akan sulit terwujud, mengingat di kalangan Tionghoa Indonesia, khususnya generasi muda, berkembang narasi yang mengedepankan keIndonesiaan mereka.
“Anak anak generasi sekarang lebih suka disebut sebagai Chinese Indonesian atau Chindo,” pungkasnya.