Suara.com - Toko buku Gunung Agung yang dikabarkan akan menutup seluruh outlet mereka pada tahun 2023 karena terus merugi. Informasi tersebut dibenarkan oleh Direksi PT Gunung Agung Tiga Belas, Minggu (21/5/2023).
Sontak penutupan toko Buku Gunung Agung tersebut langsung menjadi topik perbincangan warganet di Indonesia. Tagar Gunung Agung pun bertengger di jajaran trending topic Twitter.
Tak sedikit warganet yang merasa ikut kehilangan usai mendengar toko buku legendaris tersebut bakal tutup. Bagaimana tidak, toko buku yang tersebar di beberapa wilayah Indonesia tersebut menyimpan sejuta kenangan.
Gunung Agung sendiri memang mempunyai sejarah yang panjang. Toko buku tersebut tercatat sebagai salah satu penerbitan swasta yang sudah berdiri sejak awal kemerdekaan.
Baca Juga: Daya Tarik Kampung Wisata Taman Sari, Liburan dan Belajar Sejarah di Jogja
Melansir dari laman Gunung Agung, toko buku Agung resmi berdiri pada tahun 1953. Pendiri toko buku Gunung Agung bernama Tjio Wie Tay, atau juga dikenal dengan nama Haji Masagung.
Awalnya Tjio Wie Tay membentuk sebuah kongsi dagang bersama dengan Lie Tay San dan The Kie Hoat. Kongsi yang bernama Thay San Kongsie itu didirikan pada tahun 1945. Kala itu, barang yang diperdagangkan adalah rokok, bukan buku.
Pada saat bersamaan, tepatnya setelah kemerdekaan Republik Indonesia, permintaan buku-buku di Tanah Air sangatlah tinggi. Peluang emas itu dimanfaatkan dengan baik oleh Thay San Kongsie.
Sosoknya langsung membuka toko buku impor dan juga majalah. Mulanya, kios yang dibangun di Jakarta itu cukup sederhana. Tak disangka, toko milik Tay San Kongsie tersebut dipandang lebih baik ketimbang toko buku asing lainnya.
Selain itu, keuntungan yang didapat dari menjual buku jauh lebih besar daripada penjualan rokok dan juga bir. Tay San Kongsie akhirnya menutup usaha rokok dan juga bir, dan fokus mengembangkan toko buku yang ia rintis.
Baca Juga: Idul Adha 2023 Tanggal Berapa? Simak Penjelasan Berikut Ini
Tjio Wie Tay akhirnya membeli rumah sitaan Kejaksaan pada tahun 1951, di mana rumah ini terletak di Jalan Kwitang Nomor 13, Jakarta Pusat. Rumah tersebut ditata dan juga dijadikan percetakan kecil pada bagian belakang.
Dikembangkan menjadi Firma
Seiring waktu berjalan, bisnis toko buku yang dirintisnya berkembang semakin besar setelah kemerdekaan. Tijo Wie Tay lantas mendirikan perusahaan baru bernama Firma Gunung Agung pada tahun 1953.
Firma Gunung Agung itu merupakan bisnis yang bergerak menerbitkan serta mengimpor buku. Namun, pembuatan firma itu sendiri sempat ditolak oleh partnernya, Lie Tay San. Akhirnya Lie Tay San memutuskan mundur dari kongsi tersebut.
Meski demikian, Firma Gunung Agung resmi berdiri dengan ditandai dengan perhelatan pameran buku di Jakarta pada 8 September 1953.
Berawal dari modal Rp 500 ribu
Berawal dengan modal Rp 500.000, Gunung Agung akhirnya bisa membuka pameran sebanyak 10.000 buku. Jumlah itu pada masa tersebut terbilang sangat fantastis.
Pameran tersebut kemudian menjadi momentum awal bisnis Toko Buku Gunung Agung pada tahun 1953. Satu tahun berlalu, Tjio Wie Tay kembali memprakarsai pameran buku yang lebih megah dengan nama Pekan Buku Indonesia 1954.
Toko buku Gunung Agung lewat pameran itu, kemudian memulai tradisi penyusunan bibliografi atau daftar buku lengkap dalam bentuk katalog.
Bahkan Gunung Agung membentuk tim khusus dengan nama Bibliografi Buku Indonesia. Tim khusus penyusunan bibliografi ini dipimpin oleh Ali Amran yang dipercaya menjabat sebagai Kepala Bagian Penerbit PT Gunung Agung.
Perkenalan dengan Soekarno - Hatta
Dalam Pekan Buku Indonesia tahun 1954, Tjoe Wie Tay berkenalan dengan pemimpin Indonesia, Presiden Soekarno dan juga Wakil Presiden Moh. Hatta.
Lewat perkenalan itu juga, Gunung Agung dipercaya sebagai penyelenggara pameran buku dalam rangka Kongres Bahasa di Medan pada 1954.
Bisnis Gunung Agung pun kemudian semakin membesar yang ditandai dengan berdirinya gedung berlantai tiga di Jalan Kwitang dengan Nomor 6. Gedung tersebut diresmikan langsung oleh Bung Karno pada tahun 1963.
Kontributor : Syifa Khoerunnisa