Adapun, Kementerian Perindustrian juga terus mendorong penghiliran di industri petrokimia. Upaya ini dinilai strategis karena dapat menghasilkan bahan baku primer untuk menopang banyak industri manufaktur hilir penting seperti tekstil, otomotif, mesin, elektronika, dan konstruksi.
Hingga Oktober 2022, kinerja ekspor dari industri kimia menunjukkan capaian yang gemilang, yakni sebesar US$18,5 miliar atau naik 20% jika dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya, sedangkan pada 2023 ditargetkan US$25 miliar.
Adapun, kapasitas produksi petrokimia nasional saat ini berkisar 7,1 juta ton per tahun (2022) dan impor produk kimia yang juga masih sangat signifikan, yaitu mencapai 4,6 juta ton pada 2020.
Pertamina sendiri sudah memasang target untuk menaikkan kapasitas produksi petrokimia dari sekitar 1,66 juta ton pada 2022, menjadi 8 juta ton pada 2027 melalui sejumlah proyek. Pemerintah sendiri menargetkan Indonesia dapat menjadi negara produsen petrokimia nomor satu di Asean.
Kebutuhan petrokimia nasional terus meningkat seiring dengan pertumbuhan industri manufaktur dan sektor konstruksi di Indonesia.Beberapa faktor seperti permintaan pasar, produksi petrokimia domestik, harga bahan baku, dan persaingan global juga dapat mempengaruhi volume kebutuhan petrokimia di Indonesia.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pun sempat menyinggung peran penting industri hilir migas di sela-sela sebuah forum internasional pada 2021. Airlangga menilai sektor itu menjadi bagian dalam peningkatan multiplier effect bagi industri hilir seperti pupuk dan petrokimia.
“Kementerian ESDM sudah memberikan dukungan harga gas pada industri tertentu agar kompetitif sehingga banyak sektor hilir yang mampu bersaing dan mengekspor produknya. Kebijakan tersebut perlu diapresiasi dan diharapkan hilir dari kegiatan hulu migas dapat berkembang sehingga tidak hanya berkontribusi pada pendapatan negara, tetapi juga memberikan efek penciptaan lapangan pekerjaan dan mendorong ekonomi makro," ujar Airlangga dalam The 2nd International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas 2021” (IOG 2021), di Bali Nusa Dua, Selasa (30/11/2021).
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) pun turut mendukung upaya pemerintah memberikan insentif bagi industri petrokimia di daerah penghasil gas. Langkah ini bertujuan untuk mendorong monetisasi potensi gas bumi.
Dalam sebuah diskusi baru-baru ini, Kepala Divisi Monetisasi Minyak dan Gas Bumi SKK Migas Agus Budianto mencontohkan insentif yang diberikan pemerintah untuk mendukung penyerapan gas oleh industri petrokimia adalah insentif untuk gas yang sedang dikembangkan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (Kontraktor KKS) Genting Oil Kasuri Pte Ltd di Papua Barat.
Baca Juga: TRIPATRA Raih Kontrak Front-End Engineering and Design (FEED) untuk Proyek PNG LNG
Dengan insentif yang diberikan pemerintah, Kontraktor KKS (sebagai produsen) dapat menyesuaikan harga gas dari US$5 per MMBTU menjadi US$4 per MMBTU sehingga dapat diserap oleh produsen pupuk dan metanol yang akan beroperasi di wilayah tersebut.