Kebijakan Transisi Energi Pemerintah Dinilai Masih Inkonsisten

Kamis, 04 Mei 2023 | 05:54 WIB
Kebijakan Transisi Energi Pemerintah Dinilai Masih Inkonsisten
Ilustrasi energi listrik ramah lingkungan. (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kebijakan transisi energi pemerintah saat ini dinilai masih tidak konsisten dengan target-target yang ada. Salah satunya, target dalam emisi nol bersih.

Berdasarkan kajian yang diluncurkan Trend Asia dan CREA bertajuk Ambiguitas vs Ambisi: Tinjauan Kebijakan Transisi Energi Indonesia menilai bahwa kebijakan pemerintah selama ini masih jauh belum memadai dan memiliki sejumlah catatan.

Dalam kajian itu memaparkan, mayoritas jaringan listrik Indonesia berada dalam kondisi kelebihan pasokan (oversupply). Jaringan Jawa-Bali oversupply sejumlah 30%, bahkan jaringan Sulawesi mengalami kelebihan kapasitas terpasang hingga 69%.

Kondisi tersebut membebani keuangan PLN yang tetap harus membeli kelebihan listrik. Kondisi ini buruk bagi iklim dan emisi karbon mengingat setengah dari bauran listrik ini berasal dari batu bara.

"Untuk menyelesaikan masalah ini, pemerintah Indonesia seharusnya lebih progresif dalam membentuk kebijakan energi demi memenuhi target 1,5o C, salah satunya dengan melakukan mempercepat pemensiunan dini PLTU batubara," tutur Andri Prasetiyo dari Trend Asia yang dikutip Rabu (3/5/2023).


Namun, alih-alih menuntaskan, pemerintah malah merencanakan peningkatan porsi batubara dan energi fosil lain dalam bauran listrik Indonesia pada RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik).

Pemerintah merencanakan 40,6 GW listrik fosil untuk komersialisasi antara tahun 2021 dan 2030, dari jumlah tersebut,34% di antaranya yaitu 13,8 GW berasal dari batu bara dan 14% 5,8 GW dari gas dan diesel.

Rencana transisi energi Indonesia juga masih dipenuhi dengan ambiguitas. Dalam RUPTL yang diterbitkan pada tahun 2021 dan disebut sebagai RUPTL hijau, dari usulan 40,6 GW yang teridentifikasi untuk memenuhi permintaan listrik di masa mendatang, 50 persen di antaranya masih menggunakan bahan bakar fosil.

Meski Presiden Jokowi menekankan bahwa Ia akan melarang dan membatalkan PLTU baru kecuali mereka telah mendapatkan persetujuan keuangan atau sedang dalam tahap konstruksi, beberapa pembangkit listrik dengan status PPA (Power Purchase Agreement) dan tanggal operasi komersial (COD) pada tahun 2024 atau lebih tidak dibatalkan dalam RUPTL 2021-2030. Namun, yang dilakukan PLN malah mempercepat proyek Fast Track Program (FTP) 1, FTP 2, dan megaproyek 35 GW. Dari megaproyek 35 GW itu, 70% di antaranya merupakan usulan pembangkit batubara, termasuk PLTU yang belum mendapat persetujuan finansial.

Baca Juga: PLTU Pelabuhan Ratu Dipastikan Andal Selama Ramadan dan Idul Fitri, HOP di Atas 18 Hari

"Berdasarkan temuan kami, komitmen dari pemerintah Indonesia masih lemah, meskipun menggunakan teknologi baru tapi berpotensi menjadi solusi palsu dan tak menyelesaikan masalah transisi energi di Indonesia. Solusi palsu ini mencakup co-firing biomassa yang berpotensi mendorong deforestasi dan sedang ditentang statusnya sebagai energi netral karbon di panggung internasional, co-firing ammonia dan CCUS (Carbon Capture, Utilization, and Storage) yang belum terbukti dan berpotensi mahal, atau Clean Coal yang tetap kotor dan merusak lingkungan," jelas Jobit Parapat dari Crea.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI