Suara.com - Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) belakangan terus dikritik setelah molor dari tenggat yang menyebabkan pembengkakan biaya Rp12,8 triliun mesti ditanggung APBN. Ditambah lagi, China kini meminta APBN menjadi jaminan dari utang proyek terkait.
Sebelum pembengkakan ini benar-benar terjadi mantan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan pernah menolak mentah-mentah proyek yang kini berada di bawah naungan PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) tersebut.
Penolakan Jonan yang dilakukan pada 2014-2016 saat dia masih menjabat sebagai Menteri Perhubungan. Saat itu Jonan yang seharusnya menjadi penanggung jawab utama proyek justru tidak hadir dalam groundbreaking yang saat itu juga dihadiri Presiden Joko Widodo.
Johan kekeuh menolak kereta cepat karena kereta tersebut tak cocok dipakai di ruas Jakarta-Bandung yang hanya 150 km. Sementara itu, kereta tersebut memiliki kecepatan 300 km per jam.
Baca Juga: Pistolnya Meletus di Bandara Hasanudin, Dirut Berdikari Minta Maaf
Jika di antara keduanya dibangun 5-8 stasiun dengan interval di masing-masing stasiun adalah delapan menit, maka kecepatan 300 km per jam itu tidak dapat digunakan secara maksimal.
Lagipula, Jonan sempat menolak menerbitkan izin trase pembangunan kereta cepat karena dinilai masih ada sejumlah regulasi yang belum dipenuhi terutama soal masa konsesi.
Selain itu, ketika membicarakan proyek kereta cepat, tentu tidak dapat dilepaskan dari peran Rini Soemarno, mantan Menteri BUMN.
Pada tahun 2015, saat Indonesia menandatangani kerja sama dengan China mengenai proyek tersebut, Rini menjabat sebagai pimpinan tertinggi perusahaan-perusahaan milik pemerintah.
Namun, pada tahun 2016, peran Rini sebagai Menteri BUMN dipertanyakan oleh Komisi V DPR RI yang bertanggung jawab mengawasi penggunaan APBN.
Baca Juga: Menteri BUMN Erick Thohir Curiga Aliran Dana LIB ke PSSI, Ketum PSSI: Audit Keuangan Transparan
DPR menilai bahwa pembangunan sarana transportasi kereta cepat harus menjadi tanggung jawab Kementerian Perhubungan yang dipimpin oleh Menteri Ignasius Jonan dan bukan bagian dari wewenang Rini Soemarmo.
Namun, meskipun demikian, Kementerian BUMN tetap menjadi aktor utama dalam pembangunan proyek tersebut, sementara Kementerian Perhubungan hanya berperan sebagai penonton.
Keadaan ini jelas merupakan suatu kejanggalan. Setelah proyek dimulai, Rini pernah mengatakan bahwa kereta cepat berpotensi mengalami keterlambatan hingga tahun 2020, namun hingga tahun 2022 proyek tersebut masih belum selesai.
Komisi V DPR RI juga menyoroti biaya pembangunan yang sangat tinggi dan memandang bahwa proyek tersebut berpotensi merugikan APBN dan menyebabkan Indonesia terjerat utang selama beberapa puluh tahun.
Dalam kesempatan yang berbeda, Rini pernah menyatakan bahwa tujuan utama dari pembangunan moda transportasi kereta cepat adalah untuk memberikan alternatif transportasi yang lebih baik bagi masyarakat, selain juga menawarkan keuntungan berupa waktu tempuh yang lebih singkat, keamanan, dan kenyamanan. Pernyataan ini disampaikan Rini ketika meninjau proyek kereta cepat di kawasan Walini, Jawa Barat.
Proyek Kereta Tidak Akan Mangkrak
Meski harus ditalangi APBN, Menteri BUMN Erick Thohir menyatakan bahwa proyek KCJB tak akan mangkrak. Dalam keterangan resminya Selasa (18/4/2023) Erick menyatakan pembengkakan biaya itu lebih disebabkan oleh pandemi Covid-19 di mana semua proyek mengalami kemunduran dari jadwal yang semestinya.
Faktor lainnya adalah kenaikan harga komponen-komponen utama termasuk besi, baja, dan terganggunya rantai pasok. Erick juga mengatakan pembangunan infrastruktur memerlukan waktu lama karena perencanaan yang harus matang.
Talangan biaya APBN ini sebenarnya sudah bisa diprediksi saat Indonesia meneken kontrak pembangunan kereta cepat dengan China pada 2015 lalu. Saat itu, China mengajukan penawaran proyek. Dari sisi China, negara itu memberi penawaran anggaran proyek sebesar USD 5,13 miliar.
China Development Bank (CDB) disebut meminta Indonesia memberikan jaminan melalui APBN untuk menutup biaya pembengkakan yang ditaksir mencapai USD 7,9 miliar atau lebih dari Rp100 triliun.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menjelaskan Indonesia dan CDB telah menyepakati besaran pinjaman untuk pembayaran biaya pembengkakan Kereta Cepat senilai USD 560 juta atau sekitar Rp8 triliun.
Kontributor : Nadia Lutfiana Mawarni