Suara.com - PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) terancam gagal bayar (default) utang jangka pendek USD 617 juta yang jatuh tempo Juni 2023 mendatang. Hal ini menyusul saldo kas dan perolehan laba tahun berjalan 2022 tak mencukupi untuk menambal utang tersebut.
"Kalau hanya mengandalkan kas dan laba saja bisa dipastikan akan gagal bayar (default)," ujar Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas, Muhammad Nafan Aji Gusta Utama yang dikutip, Senin (17/4/2023).
Senada dengan Nafan, Head of Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana mengatakan PGEO memang tak akan sanggup menutup utang tersebut jika mengandalkan kas dan setara kas.
Mau tak mau, emiten panas bumi Pertamina ini harus menyiapkan opsi lain semisal dengan meminjam ke induk, atau melakukan negosiasi dengan kreditur.
Baca Juga: Mau Mudik, Cek Dulu Daftar Harga BBM Pertamina, Ada yang Turun
"Dengan catatan banknya relatif cukup fleksibel untuk diperpanjang dibanding misalnya yang jatuh tempo adalah obligasi dimana kalau tidak bayar sesuai tanggal jatuh tempo hitunganya default," jelas Wawan.
Sementara pengamat CELIOS Bima Yudhistira menilai bukan hanya perkara kas dan setara kas yang minim saja permasalahan yang dihadapi PGEO, melainkan juga isu lingkungan.
"Bukan hanya soal utang tapi juga soal penolakan masyarakat di sekitar proyek geothermal yang masih berlanjut. PGEO harus memastikan proses yang diklaim sebagai energi terbarukan bebas dari konflik dengan masyarakat hingga memenuhi aspek dampak lingkungan yang baik," imbuh Bima.
Tercatat, laba tahun berjalan perseroan per 31 Desember 2022 mencapai USD 127,3 juta atau naik 49,7% dari posisi 31 Desember 2021 sebesar USD 85 juta.
Perolehan laba tersebut terdorong oleh top line atau pendapatan yang naik 4,6% dari USD 368,8 juta di 2021 menjadi USD 386,1 juta di 2022, seiring penjualan karbon kredit sebagai pendapatan baru. Namun kontribusinya masih sangat minim, baru sekitar USD 747.000 atau 0,19% dari total pendapatan.
Baca Juga: Harga BBM Pertamina Ada yang Turun Jelang Mudik, Cek Daftarnya
Sementara saldo kas setara kas perseroan per 31 Desember 2022 tercatat sebesar USD 262,3 juta, naik 109,3% dari posisi 31 Desember 2021 sebesar US$125,3 juta. Meski saldo kas setara kas bertambah, namun jika ditambahkan dengan seluruh laba tahun berjalan pun masih belum bisa menutupi utang jangka pendek.
Jika dirinci, total utang bank jangka pendek tersebut terdiri atas pinjaman dari PT Bank Mandiri (Persero) Tbk sebesar USD 105 juta, MUFG Bank Ltd, Jakarta Branch sebesar USD 105 juta dan PT Bank UOB Indonesia juga USD 105 juta.
Berikutnya dari PT Bank HSBC Indonesia sebesar USD 82,5 juta, Australia and New Zealand Banking Group Limited Singapore Branch USD 75 juta, PT Bank BTPN Tbk (BTPN) senilai USD 52,5 juta, Sumitomo Mitsui Banking Corporation Singapore Branch senilai USD 52,5 juta dan The Hong Kong and Shanghai Bank Corporation Limited senilai USD 22,5 juta.
Mengingat banyaknya kreditur yang teribat dalam utang jangka pendek ini, proses refinancing atau restrukturisasi pun dinilai akan sulit dicapai.
Untuk diketahui, utang jangka pendek ini bermula saat perseroan mengambil fasilitas bridge loan dari sejumlah bank yang tergabung dalam mandate lead arranger (MLA) pada 23 Juni 2021. Fasilitas bridge loan tersebut memiliki plafon US$800 juta bertenor 1 tahun dengan opsi perpanjangan maksimal 1 tahun dengan dikenai biaya perpanjangan yang menjadi biaya tetap sebesar 0,15% dari jumlah partisipasi setia MLA. Perseroan melakukan perpanjangan di mana jatuh tempo pinjaman ini diperpanjang sampai dengan Juni 2023.