Suara.com - Pemerintah dan DPR RI saat ini terus menggodok Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Kesehatan, RUU yang dinilai membuat gaduh banyak pihak yang berkecimpung dalam industri kesehatan nasional.
Getah kerugian juga harus dialami industri tembakau Tanah Air, melalui Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) secara tegas menolak adanya RUU ini.
Sekjen AMTI Hananto Wibisiono menilai polemik yang terjadi saat ini tak terlepas dari substansi regulasi yang tidak sepenuhnya mengakomodir hak-hak masyarakat untuk memperoleh layanan kesehatan yang berkualitas, adil, dan tanpa diskriminasi.
Sebagai salah satu pemangku kepentingan di sektor pertembakauan yang turut diregulasi dalam RUU Omnibus Law Kesehatan, AMTI melihat bahwa rancangan undang-undang tersebut rentan mengancam keberlangsungan ekosistem pertembakauan. Khususnya terkait Pengaturan Zat Adiktif, di Bagian Kedua Puluh Lima.
“Sejak awal elemen ekosistem pertembakauan sebagai bagian dari masyarakat tidak diakomodirnya suaranya untuk memberikan masukan terkait RUU Kesehatan tersebut. RUU Kesehatan ini dibuat dengan sangat eksesif dan diskriminatif terhadap elemen hulu hingga hilir ekosistem pertembakauan,” ujar Hananto Wibisono, Sekjen AMTI dalam gelaran Diskusi Media Mengawal Rancangan Regulasi yang Eksesif dan Diskriminatif Terhadap Ekosistem Pertembakauan yang dikutip Kamis (13/4/2023).
Secara substansi pasal 154 mengenai Pengaturan Zat Adiktif, menurut Hananto, memposisikan tembakau sejajar dalam satu kelompok dengan narkotika dan psikotropika. Padahal, sejatinya, tembakau sebagai komoditas strategis nasional, adalah produk legal yang memberikan kontribusi serta sumbangsih signifikan terhadap penerimaan negara.
“Tembakau, produknya, aktivitas pekerjanya, semuanya adalah legal. Tembakau telah berkontribusi nyata terhadap pembangunan negeri ini tapi dalam RUU Kesehatan justru diperlakukan seperti narkoba. Ini adalah ketidakadilan dan diskriminasi. Harapan kami, wakil rakyat, DPR RI, dapat membantu mengawal RUU Kesehatan dengan sebenar-benarnya dan seadil-adlinya,” tegas Hananto.
Lanjutnya, tembakau sejak lama telah menjadi andalan masyarakat sebagai penopang hidup. Ada 6 juta tenaga kerja, mulai dari sektor perkebunan, manufaktur hingga industri kreatif yang bergantung pada ekosistem pertembakauan.
“Lagi-lagi dalam proses perumusan regulasi, pemangku kepentingan pertembakauan tidak pernah dilibatkan. Tentu saja situasi ini menyakiti jutaan jiwa yang menggantungkan penghidupannya dalam ekosistem pertembakauan,” kata Hananto.
Baca Juga: Ini Dampak Jika Tembakau Disejajarkan dengan Narkotika
Dari sudut pandang hukum, Ali Rido, Dosen Ilmu Hukum Universitas Trisakti menilai bahwa pasal 154 mengenai Pengaturan Zat Aditif dalam RUU Omnibus Law Kesehatan seharusnya fokus mengatur tembakau dalam ranahnya sendiri.