Suara.com - Revisi Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (RUU Migas) perlu segera diselesaikan mengingat kebutuhan energi akan terus bertambah sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Apalagi, pemerintah telah menargetkan produksi migas pada 2030 sebesar 1 juta barel minyak bumi dan 12 miliar kaki kubik gas bumi per hari.
Pendiri Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan bahwa urgensi RUU Migas diperlukan untuk memberikan sinyal positif bagi dunia usaha dan dalam rangka membenahi investasi serta memperbaiki pengelolaan industri hulu migas nasional. Ada tiga aspek yang menjadi kunci dan saling terkait dalam rangka perbaikan tersebut, yaitu kepastian hukum, kepastian fiskal dan keekonomian serta kemudahan birokrasi atau perizinan. "Akar permasalahannya berada pada ketiga aspek tersebut di level undang-undang," ujar Pri dalam acara Media Briefing ke 2 IPA Convex 2023, Senin (10/4).
Ditambahkan Pri, Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001 (UU Migas 22/2001) yang masih digunakan saat ini telah meniadakan keistimewaan dalam pengelolaan migas saat ini, di anatara prinsip Assume and Discharge, pemisahan PSC dengan Keuangan Negara serta Single Door Bureaucracy.
Menurut dia, ketentuan pada UU Migas 22/2001, pengelolaan keuangan kontrak PSC masuk dalam bagian dari pengelolaan keuangan negara karena pihak yang mewakili negara dalam berkontrak merupakan instansi pemerintah. Hal itu berpotensi memunculkan berbagai dampak negatif, seperti persepsi yang cenderung negatif terkait besaran pengembalian biaya operasi (cost recovery), kaitan cost recovery dengan APBN, serta tereksposenya para pihak dalam kontrak PSC dengan hukum karena kerugian investasi migas dapat dianggap merugikan negara.
Baca Juga: Jaga Keberlanjutan Energi, PHE Terus Genjot Eksplorasi Hulu Migas
Selain itu, pasal 31 UU Migas 22/2001 mengatur bahwa perpajakan kontrak PSC mengikuti ketentuan perundang-undangan yang berlaku umum (lex generalis) sehingga para kontraktor PSC dikenakan ketentuan fiskal PSC non assume and discharge.
Diakui Pri, memang ada upaya untuk memperbaiki hal tersebut oleh pemerintah, salah satunya melalui mekanisme restitusi pajak dan penetapan tarif 0% atas jenis pajak atau pungutan tertentu. Namun, secara teknis dan administrasi hal itu tetap dapat menimbulkan ketidakpastian dalam penerapan aspek fiskal bagi kontrak PSC. “Hal ini tentu berpengaruh kepada iklim investasi migas Indonesia dan daya tarik investasi,” ujar dia.
Menurutnya, kondisi industry hulu migas saat ini disebut sedang mengalami kondisi sunset. Tren pencapaian kinerja dan signifikansi sektor hulu migas terus menurun. Sebagai informasi, cadangan minyak bumi Indonesia yang terbukti saat ini tercatat hanya sekitar 3,95 miliar barel dengan rata-rata produksi sekitar 600 ribu barel per hari. “Ada dua hal yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya sunset industry, yaitu menemukan lapangan besar migas dan lapangan migas yang sudah terbukti tersebut harus segera berjalan. Agar berjalan, tidak bisa dikerjakan secara business as usual. Untuk itu, RUU Migas diharapkan bisa mengakomodir permasalahan pada industri hulu migas saat ini,” ujar dia.
Sementara itu, anggota Tim Energi Bimasena, Suyitno Patmosukismo, menyampaikan bahwa Undang-Undang Migas yang ada saat ini sudah tidak relevan dengan kondisi sektor migas, apalagi adanya era transisi energi dan target produksi migas 2030. Untuk itu, RUU migas harus disegerakan guna meningkatkan kembali peran industry migas bagi pertumbuhan ekonomi seperti pernah ada sebelumnya.
“Sektor hulu migas nasional pernah memiliki masa jaya sekitar 1972 hingga 1997. Pada periode tersebut, Indonesia tercatat memiliki cadangan minyak terbukti hingga 11,6 miliar barel lebih, dengan rata-rata produksi mencapai 1,3 juta barel minyak bumi per hari,” kata dia.
Baca Juga: Perkuat Budaya K3, Kemnaker Dukung Perlindungan Pekerja di Sektor Migas
Direktur Eksekutif IPA, Marjolijn Wajong, pada kesempatan yang sama menyampaikan empat usulan utama dari pelaku sektor hulu migas terkait RUU Migas. Keempat hal tersebut, yaitu: kepastian hukum, perbaikan fiscal, manajemen emisi CO2, dan institusi pengelola migas serta kemudahan perijinan.
Menurutnya, kepastian hukum merupakan hal yang sangat diperhatikan dalam persyaratan dan ketentuan kontrak PSC. Ketentuan-ketentuan yang ada agar diakui dan dihormati dari awal sampai akhir kontrak. Setiap permasalahan dan/atau perbedaan pendapat terkait dengan implementasi kontrak PSC, termasuk jika ada temuan audit oleh auditor negara, harus diselesaikan sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan dalam kontrak, bukan dibawa ke ranah hukum pidana.
Dalam hal perbaikan fiscal, menurut Marjolijn, perlunya dikembalikannya penerapan prinsip Assume & Discharge, dimana Kontraktor hanya diwajibkan membayar pajak-pajak langsung. Sedangkan pajak-pajak tidak langsung ditanggung atau dibayarkan oleh Pemerintah. Selain itu, ketentuan tentang konsolidasi biaya pada satu perusahaan yang memegang lebih dari satu wilayah kerja agar diperbolehkan sebagai pengurang pajak (tax deductibility). Konsolidasi ini berpotensi menstimulasi minat investor untuk melakukan eksplorasi migas di Indonesia.
“Kemudian pemberian fasilitas Tax Holiday, Branch Profit Tax (BPT) exemption ketika diinvestasikan kembali di Indonesia, fasiltas impor barang (materlist), serta insentif fiscal untuk kegiatan CCS/CCUS dapat menarik minat investasi yang lebih besar di sektor Migas,” kata dia.
Sementara untuk manajemen emisi CO2, IPA berharap ketentuan dalam RUU Migas dapat mendukung kegiatan penurunan emisi, termasuk kegiatan CCS/CCUS yang merupakan bagian terkait dari kegiatan hulu migas. Sehingga biaya atau pengeluaran-pengeluaran terkait CCS/CCUS merupakan bagian dari biaya operasi karena manajemen CO2 sudah menjadi bagian dari perijinan berusaha (license to invest).
Sedangkan, terkait institusi pengelola migas, ia menyampaikan bahwa pelaku sektor hulu migas menyerahkan sepenuhnya kepada keputusan pemerintah. Namun, dia berharap agar transisi dilaksanakan sebaik mungkin guna menghindari ketidakpastian bagi pelaku industri dan institusi tersebut diberikan kewenangan yang lebih luas dengan tanggung jawab langsung kepada Presiden.
Institusi pengelola migas ini juga wajib bertanggung jawab dalam hal memperoleh seluruh ijin yang diperlukan dalam kegiatan operasi hulu migas dari Kementerian atau Lembaga baik di pusat maupun daerah, sehingga kontraktor dapat fokus pada upaya mencari dan menemukan cadangan migas.
“Kami tidak mempermasalahkan siapa insitusi yang nantinya akan ditunjuk oleh pemerintah. Tetapi yang menjadi poin utama bagi pelaku industri adalah bagaimana institusi tersebut harus kuat untuk mendukung upaya eksplorasi yang dilakukan,” kata dia.
Dia mengakui, UU Migas yang sudah berumur lebih dari 20 tahun ini dirasakan kurang dapat memenuhi tuntutan investasi saat ini dan yang akan datang. Oleh karena itu diperlukan perbaikan dalam beberapa hal seperti ketentuan fiscal dan kemudahan investasi lainnya agar Indonesia bisa bersaing dengan negara lain dalam menarik investasi di sektor migas.
“Kita harus mengakui bahwa ada penurunan produksi migas dalam dua dekade terakhir, dan ini bisa diperbaiki jika keempat hal yang menjadi usulan pelaku industry tersebut dapat diakomodir melalui RUU Migas, sehingga ketahanan energi nasioanl dapat tetap terjaga,” kata dia