Suara.com - PT Kimia Farma Tbk (KAEF) harus menderita rugi bersih sebesar Rp170,04 miliar pada tahun 2022, atau memburuk dibanding tahun 2021 yang memukukan laba bersih sebesar Rp302,27 miliar.
Dampaknya, saldo laba telah ditentukan penggunaanya menyusut 11,47 persen menjadi Rp2,022 triliun.
Mengutip laporan keuangan produsen obat plat merah ini di laman Bursa Efek Indonesia (BEI) Senin (3/4/2023) penjualan bersih KAEF amblas 25,2 persen yang tersisa Rp9,606 triliun.
Pemicunya, penjualan obat generik produk sendiri anjlok 59,1 persen yang tersisa Rp864,52 miliar. Selain itu penjualan obat ethical produk pihak ketiga amblas 4,2 persen yang tersisa Rp2,961 triliun.
Baca Juga: Pertamina Geothermal Energy Catat Pendapatan USD 747.000 dari Kredit Karbon
Demikian juga dengan penjualan alat kesehatan, jasa klinik, lab klinik produk pihak ketiga turun 13,1 persen menjadi Rp1,776 triliun.
Bahkan di tahun 2022, tidak lagi mencatatkan penjualan vaksin. Padahal pos ini mencapai Rp1,384 triliun pada tahun 2021.
Walau beban pokok penjualan dapat ditekan 28,9 persen menjadi Rp6,013 triliun. Tapi laba kotor turun 18,2 persen menjadi Rp3,592 triliun. Tak hanya itu beban usaha juga ikutan meningkat mencapai Rp3,286 triliun.
Dampaknya, laba usaha anjlok 43,3 persen yang tersisa Rp558,07 miliar. Terlebih, beban keuangan menyentuh Rp520,6 miliar. Sehingga laba sebelum pajak amblas 87,5 persen sisa Rp49,622 miliar.
Selain itu, beban pajak penghasilan mencapai Rp143,94 miliar. Sehingga rugi tahun berjalan dari operasi yang dilanjutkan tercatat sebesar Rp94,326 miliar.
Baca Juga: Gelar Pesantren Ramadan, Kimia Farma Libatkan 100 Pesantren Seluruh Indonesia
Meski demikian penjualan obat over the counter pihak ketiga tumbuh 3,1 persen menjadi Rp1,845 triliun. Begitu juga dengan penjualan obat generik pihak ketiga terkerek 2,08 persen menjadi Rp977,22 miliar.
Sementara itu, total kewajiban bertambah 4,6 persen menjadi Rp11,014 triliun. Salah satu pemicunya, utang bank jangka pendek membengkak menjadi Rp4,304 triliun. Ditambah utang jangka pajang yang jatuh tempo dalam satu tahun melonjak menjadi Rp2,073 triliun.
Sebaliknya, jumlah aset lancar hanya tercatat sebesar Rp8,051 triliun. Pada sisi lain, jumlah ekuitas bertambah 29,1 persen menjadi Rp9,339 triliun.