Suara.com - Nilai komoditas Mineral saat ini sudah melonjak tinggi, apabila dibandingkan dengan 10 tahun lalu. Permintaan akan komoditas mineral yang cukup tinggi dan sumber daya alam yang tidak banyak, menyebabkan komoditas mineral sangat dibutuhkan dan meningkatkan nilai jual.
Hal tersebut disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif pada Sarasehan Sinkronisasi Tata Kelola Pertambangan, Mineral Utama Perspektif Politik, Hukum, dan Keamanan, di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Selasa (21/3/2023).
Arifin menilai perlunya pengelolaan yang baik terhadap sumber daya alam yang dimiliki Indonesia. Salah satunya melalui peningkatan eksplorasi sumber daya cadangan Minerba, termasuk di dalamnya adalah potensi logam tanah jarang dan mineral kritis.
"Mineral kritis ini perlu kita highlight, karena mineral kritis ini termasuk nikel, di mana kita mempunyai cadangan terbesar di dunia. Kemudian kita juga punya tembaga, tanpa tembaga kita tidak bisa melistriki negeri kita. Kita juga punya bauksit yang bisa memproduksi alumunium yang bisa mendukung untuk kebutuhan industri kelistrikan. Tadi saya sampaikan kita ada logam tanah jarang, ini sedang kita upayakan karena potensinya cukup banyak, dan ini perlu kita lakukan eksplorasi untuk menentukan jumlah sumber daya," ujar Arifin.
Baca Juga: Tarif Listrik Non Subsidi di Kuartal II Naik? Ini Kata Menteri ESDM
Kementerian ESDM juga tengah melakukan pengembangan komoditas mineral, yaitu dengan meningkatkan nilai tambah komoditas, memperkuat struktur industri, dan meningkatkan peluang usaha dalam negeri, dengan tersedianya lapangan pekerjaan baru. Hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah dilakukan antara lain untuk komoditas nikel, bauksit, dan timah. Larangan ekspor nikel, misalnya, telah dilakukan sejak 1 Januari 2020, sebagai penerapan Undang-Undang Minerba.
"Sumber daya alam kita ini suatu saat akan habis. Memang kita ini memiliki nikel, terbesar di dunia, namun kalau tidak kita kelola dengan baik, maka suatu saat akan habis. Kalau kita tidak manfaatkan dengan mendorong hilirisasinya, kita akan menjadi importir produk bahan jadi. Kalau kita lihat dari bijih nikel menjadi ferro nikel saja itu nilai tambahnya 4 kali lipat. Makanya sekarang kita lihat nilai devisa yang kita dapatkan dari ekspor produk jadi yang diproses berlipat demikian banyak dibandingkan sebelumnya. Yang perlu dikembangkan lagi adalah industri-industri selanjutnya, turunan dari bahan nikel ini, misalnya High Pressure Acid Leaching (HPAL) yang akan menjadi nikel metal, kemudian baterai untuk listrik," jelas Arifin.
Selain nikel, produk turunan dari bauksit dan timah juga perlu dikembangkan. Menurut Arifin, tantangan saat ini adalah bagaimana menumbuhkembangkan industri turunannya, dengan meningkatkan daya tarik investasi dalam negeri.
"Kita harus menciptakan daya tarik investasi yang kompetitif dibandingkan tempat lain. Contohnya, dengan Vietnam kita bersaing, namun kita memiliki kelebihan sumber daya alam kita yang tidak dimiliki negara lain. Kalau di sekitar ASEAN itu Filipina, yang punya nikel dan tembaga, karena alurnya pertambangan di daerah situ punya mineral semua, tetapi tidak banyak. Filipina juga sekarang meniru indonesia,akan membatasi ekspor barang mentah, untuk kemudian diolah menjadi barang jadi," tandasnya.
Maka dari itu, Arifin menegaskan perlunya iklim investasi yang menarik dan kepastian hukum yang jelas.
Baca Juga: Resep Sambal Tanpa Gula Ala Dr. Zaidul Akbar, Sudah Tahu?
"Sekali suatu perjanjian sudah disepakati untuk investasi, itu berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian. Mereka (para investor) takut kalau ada perubahan tiba-tiba, kemudian perjanjian yang lama dibatalkan dan diberlakukan yang baru. Ini yang disebut-sebut sebagai contract sanctity," imbuh Menteri Arifin.