Suara.com - Ketua Umum Hidupkan Masyarakat Sejahtera (HMS) Center, Hardjuno Wiwoho menegaskan pertumbuhan utang pemerintah Indonesia bisa dikatakan sudah tidak masuk akal.
Dengan beban utang sebesar itu, Indonesia telah terjebak dalam situasi middle low income trap (negara berpendapatan menengah bawah). Hal ini mengkonfirmasikan utang tidak mempunyai peranan besar dalam merangsang pertumbuhan ekonomi suatu negara.
"Yang saya khawatirkan, Indonesia akan kehilangan beberapa generasi (lost generation) karena kekurangan gizi, kurang pendidikan, dan penurunan status kesehatan dari berjuta anak Indonesia sebagai dampak memburuknya situasi ekonomi akibat tumpukan utang pemerintah. Mirisnya lagi, utang dipakai untuk hal-hal yang tidak produktif," ujar Hardjuno di Jakarta, Selasa (21/3/2023).
Menurutnya, ekonomi Indonesia akan sulit berkembang. Sebab, keuangan negara tersandera untuk pembayaran pokok dan bunga utang. Mirisnya lagi, setiap tahun pertumbuhan ekonomi rata-rata hanya 5 persen. Sementara pertumbuhan utang jauh di atas itu.
Baca Juga: Jokowi: Alhamdulillah Pertumbuhan Ekonomi Kita Tumbuh 5,3%, Negara Lain Masih Terpuruk
Dari 5 persen pertumbuhan tiap tahun, 3 persen berasal dari konsumsi yang artinya tidak menambah nilai dalam rantai ekonomi alias tidak menyerap pekerjaan dan menambah pendapatan negara di masa depan.
Hanya 2 persen pertumbuhan ekonomi yang menggerakan dan memajukan ekonomi. Angka ini tidak akan cukup memenuhi pertumbuhan utang negara karena angka utang sudah mengarah pada pola gali lubang tutup lubang.
"Pada akhirnya, situasi ini pula lah yang bisa menjelaskan mengapa tingkat pengangguran dan kemiskinan di Indonesia masih berada pada level yang teramat tinggi," katanya.
Menurut Hardjuno, Indonesia telah berkali-kali melewatkan kesempatan (missopportunity) untuk melepaskan diri dari middle low income trap, tapi itu tidak dimanfaatkan dengan baik. Pasalnya pembuat kebijakan berulang kali membuat kesalahan fatal yaitu, utang yang tidak produktif dan mengabaikan sektor paling penting yaitu pertanian dan sektor riil.
"Maka tak heran GDP perkapita Indonesia jauh di bawah Malaysia dan juga Thailand. Krisis 1998 perbankan kita sudah hancur karena digunakan pemilik dan oligarki dalam kejahatan BLBI dan Obligasi Rekap BLBI," imbuh dia.
Hardjuno menjelaskan kredit property adalah kredit yang dikucurkan kepada konglomerat pengembang super blok mewah, mal-mal mewah, apartemen, dan kawasan-kawasan elit, yang sifatnya spekulatif. Berbeda dengan property kelas bawah yang sampai hari ini masih mengalami backlog (kekurangan suplai).
Baca Juga: Di Hadapan Sri Mulyani, Ganjar Siap Genjot Target Pertumbuhan Ekonomi 6 Persen
Lebih lanjut, Hardjuno mengatakan saat Presiden SBY lengser, meninggalkan utang sebesar Rp 2.700 triliun. Sementara 9 tahun pemerintahan Presiden Jokowi telah menambah utang sebesar Rp 5.300-an triliun.
Bahkan hingga saat ini kata Hardjuno, utang pemerintah Indonesia per akhir Desember 2022 mencapai Rp 7.733,99 triliun. Posisi utang pemerintah tersebut bertambah Rp 825,03 triliun dibanding akhir 2021 yang sebesar Rp 6.908,87 triliun.
Diperkirakan pada hari ini utang pemerintah sudah di atas Rp 8.000 triliun karena tiap kuartal Bank Indonesia terus membeli Surat Berharga Negara tak kurang dari Rp 200 triliun rupiah.
Dengan utang sebanyak itu dan jumlah penduduk sebanyak 275 juta jiwa, artinya setiap penduduk bahkan bayi baru lahir di Indonesia sudah menanggung utang sebanyak Rp 29 juta.
Sementara GDP perkapita tercatat 3.892 dolar AS atau Rp 60 juta pertahun atau Rp 5 juta per bulan. Yang artinya setiap penduduk, dari bayi, anak kecil, ibu rumah tangga, pengangguran, mahasiswa, ayah pekerja, memiliki penghasilan Rp 5 juta sebulan.
Jika rata-rata keluarga di Indonesia memiliki anggota 4 orang saja maka setiap keluarga Indonesia rata-rata memiliki penghasilan Rp 20 juta.
Saat utang yang ditanggung tiap-tiap penduduk angkanya sudah pasti dan harus dibayar, pendapatan Rp 60 juta setiap bayi yang baru lahir adalah angka yang distortif alias karena GDP per kapita tidak memisahkan apakah penghasilan itu dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan asing atau oleh perusahaan lokal. Semua output ekonomi dihitung sebagai GDP.
Di sinilah tampak betapa struktur keuangan nasional begitu memberatkan masyarakat.
Menjelang pemilihan umum 2024, seluruh elemen bangsa ini, menurut Hardjuno musti sadar apa masalah mendasar bangsa ini. Karena tanpa itu, yang akan terjadi rakyat akan selalu dikorbankan dalam perebutan kekuasaan para elit. Sehingga tak heran selalu ada gesekan fisik di tingkat bawah saat pesta demokrasi.
Anggaran negara terus saja dihambur-hamburkan untuk para elit yang bersandar pada penambahan utang. Sementara uang di bank yang disimpan oleh rakyat disalurkan kepada konglomerat.
"Kalau terus dibiarkan, ketimpangan makin lebar dan rakyat makin sengsara," pungkas Hardjuno.