Suara.com - Kalangan akademisi meragukan adanya kartel minyak goreng karena profil industri sawit memiliki sektor hulu dan hilir yang berbeda-beda akan membuat perbedaan kepentingan bisnis dan strategi mereka.
Selain itu, tidak ada bukti langsung (direct evidence) yang menjadi landasan adanya perilaku kartel di dalam industri minyak goreng.
Pendapat ini disampaikan dua pakar berbeda: Ahli Assoc Prof. Dr. Rio Christiawan, S.H., M.Hum., M.Kn. (Dosen Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta) dan Prof. Ningrum Natasya Sirait (Guru Besar di bidang Hukum Persaingan Usaha dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara).
"Praktik kartel tidak mungkin terjadi di industri minyak goreng nasional dalam perspektif industri kelapa sawit. Sangat kecil kemungkinan terjadi di industri sawit,” ujar Rio Christiawan.
Rio menjelaskan bahwa setiap pelaku industri kelapa sawit memiliki profil usaha upstream dan downstream yang berbeda sehingga menyebabkan adanya perbedaan kepentingan bisnis, luasan berbeda, jumlah pabrik kelapa sawit berbeda, kapasitas produksi CPO berbeda, jumlah refinery berbeda, tanggung jawab jangka panjang seperti long term contract pada pihak ketiga juga berbeda sehingga akan sangat sulit kemungkinan terjadinya kartel pada industri kelapa sawit.
Dijelaskan Rio bahwa industri kelapa sawit merupakan industri yang masuk kedalam regulated industry. Dalam kondisi industri teregulasi, perusahaan dapat dikatakan melawan hukum apabila melanggar regulasi yang telah ditetapkan pemerintah dalam industri tersebut.
Sepanjang tindakan yang dilakukan oleh pelaku industri kelapa sawit tersebut telah sesuai dengan regulasi pemerintah, karena dalam hal ini mekanisme pasar telah diatur oleh kebijakan pemerintah maka tidak terklasifikasi melawan hukum.
Sebagai informasi, KPPU menduga sebanyak 27 perusahaan minyak goreng kemasan (Terlapor) melakukan pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 19 huruf c Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Antimonopoli).
Menurutnya, kenaikan harga minyak goreng yang terjadi pada 2021-2022 bukan atas kesepakatan antara pelaku usaha, tetapi merupakan respons bersama yang rasional menyikapi kenaikan harga CPO sebagai bahan baku utama minyak goreng. Hal ini juga dapat dilihat pada produk turunan CPO selain minyak goreng yang juga mengalami kenaikan harga akibat dampak dari kenaikan harga CPO, seperti mentega.
Baca Juga: Jaga Kelangkaan Stok Minyak di Kaltimra, Bulog Datangkan 160 Ribu MinyaKita
Sementara itu, Guru Besar Universitas Sumatera Utara, Prof. Ningrum Natasya Sirait menjelaskan bahwa dugaan kartel minyak goreng dalam sidang KPPU tidak cukup berlandaskan kepada indirect evidence (bukti tidak langsung).