Suara.com - Lembaran sejarah mencatat, lahirnya Sistem Jaminan Sosial di Indonesia merupakan buah dari perjuangan kaum buruh, organisasi pekerja, dan elemen masyarakat lainnya melalui Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS).
Kala itu, KAJS bergerak melalui berbagai cara, mulai dari diskusi, lobi, menjadi fraksi balkon, hingga sampai melakukan aksi demonstrasi besar-besaran, yang tak terhitung jumlahnya di seluruh Indonesia, sehingga Jaminan Sosial akhirnya diwujudkan dan BPJS pun secara bersamaan didirikan.
Senin (6/03/23), melalui RUU Omnibus Law Kesehatan, pemerintah berupaya merubah, bahkan bisa dikatakan mendegradasi dan ingin mengangkangi Jaminan Sosial beserta lembaga negara penyelenggaranya.
Ipang Sugiasmoro, Direktur Hukum dan Advokasi Anggaran Jamkeswatch Nasional secara tegas mengatakan menolak RUU Kesehatan tersebut untuk disahkan menjadi UU, karena dianggap menyesatkan dan membahayakan.
Baca Juga: Ditolak PKS di Baleg, DPR Setuju RUU Kesehatan Jadi Inisiatif DPR di Paripurna
“RUU Kesehatan ini sesat dan menyesatkan. Tidak hanya mengancam independensi dan eksistensi Jaminan Sosial, namun juga pengkhianatan atas perjuangan buruh dan pembelokan hukum. Jamkeswatch dengan tegas menolak RUU Kesehatan”, tegasnya.
Ia menyebut, RUU Kesehatan yang diduga akan dibentuk dan disahkan menggunakan metode UU Omnibus Law Cipta Kerja seakan mengorek kembali luka kaum buruh dan masyarakat pada produk hukum, yang sebelumnya telah mendapatkan reaksi penolakan keras dari seluruh kalangan masyarakat tersebut. Sebuah luka yang memborok, dirobek lagi, lalu disiram dengan air cuka. Pedih perih tiada terkira.
Lebih jauh Ipang mengajak semua pihak berkaca dari rekam jejak proses pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja, beberapa waktu lalu, sebelum disahkan oleh pemerintah. Masyarakat sedikit banyak telah belajar dan paham, saat detik-detik awal perancangan UU Cipta Kerja, yang dimulai dari dipaksa masuk Prolegnas tanpa status urgensi, draft UU yang tidak jelas dan berubah-ubah, judul dan substansi yang tidak relevan, dibahas maraton saat pandemi, tidak adanya partisipasi publik, ditetapkan tengah malam, digugat lalu ditangguhkan Mahkamah Konstitusi, bahkan diakali melalui PERPU serta seabreg kenyataan pahit lainnya.
Selain itu terbaca juga dalam RUU Kesehatan, laporan segala bentuk pertanggungjawaban kinerja BPJS ke depannya, tidak lagi langsung kepada presiden sesuai amanah UU saat ini, tetapi melalui kementerian dan akan diberikan penugasan oleh kementerian diluar dari kewajibannya. Jika sampai hal tersebut terjadi, dikhawatirkan akan menimbulkan pembelokan hukum, mempreteli independensi BPJS, mengancam keberlangsungan sekaligus menghambat implementasi Jaminan Sosial.
Hal itu tidak hanya akan melahirkan oligarki dan komersialisasi pada Jaminan Sosial, namun juga mendegradasi bahkan mengeliminasi hak warga negara, serta tumpang tindih implementasi pelaksanaan kebijakan.
Baca Juga: Mereduksi Kewenangan BPJS, FSPMI Aceh Tolak RUU Kesehatan
Pemerintah, saat ini tentunya tidak sedang pura-pura hilang akal, BPJS adalah badan hukum publik dan Jaminan Sosial adalah tujuan bernegara serta hak konstitusional warga negara yang dijamin undang-undang dasar 1945.
Selanjutnya yang tidak kalah pentingnya adalah tentang Dana Jaminan Sosial (DJS), yang disebut dana amanat. DJS adalah uangnya rakyat, uangn umat, bukan uangnya pemerintah, bukan pula uangnya kementerian atau pejabat. BPJS dititipi amanah mengelola DJS, bahkan Rp1 pun harus dipertanggungjawabkan. Dana amanat hanya boleh dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta, tidak untuk hal lain.
Mengingat saat ini perputaran DJS yang sangat besar, di BPJS Ketenagakerjaan sendiri kurang lebih ada DJS peserta sekitar 600 Triliun dan DJS peserta sebesar Rp200 triliun di BPJS Kesehatan. Kehadiran RUU Kesehatan ini dinilai sangat rawan terjadi politisasi dan monetisasi Jaminan Sosial.
Sudah dana amanat memungkinkan untuk dijadikan bancakan, Jaminan Sosial pun dijadikan alat kekuasaan dan alat untuk menghasilkan uang mengeruk keuntungan.
Menambahkan keterangan itu, Ketua Koordinator Wilayah Jamkeswatch Jawa Timur, Nurrudin Hidayat, membeberkan rencana aksi penolakan sebagai bentuk perlawanan terhadap RUU Kesehatan.
“Kita akan menggalang kekuatan bersama organisasi Serikat Pekerja, Serikat Buruh, Asosiasi Profesi, Asosiasi lintas sektor, Partai Buruh dan elemen masyarakat lainnya untuk melakukan aksi demonstrasi besar-besaran menolak RUU Kesehatan,” Ucapnya.
Menurutnya, Jaminan Sosial adalah tulang punggung dan palang pintu terakhir kesejahteraan sosial. Tanpa Jaminan Sosial tidak akan ada kesejahteraan sosial. RUU Kesehatan ini tidak hanya membahayakan Jaminan Sosial tetapi juga mengkhianati perjuangan buruh dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
“Dulu, kita kaum buruh mendorong lahirnya Jaminan Sosial dengan berbagai usaha, selama ini kita juga mengawal pelaksanaannya dengan berbagai upaya, maka sekarang kita harus mempertahankannya, apapun caranya!” pungkasnya.