Apapun Caranya, Jamkeswatch Siap Hadang RUU Kesehatan

Fabiola Febrinastri
Apapun Caranya, Jamkeswatch Siap Hadang RUU Kesehatan
Ilustrasi kesehatan dunia (Elements Envato)

DJS adalah uangnya rakyat, uangn umat, bukan uangnya pemerintah.

Suara.com - Lembaran sejarah mencatat, lahirnya Sistem Jaminan Sosial di Indonesia  merupakan buah dari perjuangan kaum buruh, organisasi pekerja, dan elemen masyarakat lainnya melalui Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS).

Kala itu, KAJS bergerak melalui berbagai cara, mulai dari diskusi, lobi, menjadi fraksi balkon, hingga sampai melakukan aksi demonstrasi besar-besaran, yang tak terhitung jumlahnya di seluruh Indonesia, sehingga Jaminan Sosial akhirnya diwujudkan dan BPJS pun secara bersamaan didirikan.

Senin (6/03/23), melalui RUU Omnibus Law Kesehatan, pemerintah berupaya merubah, bahkan bisa dikatakan mendegradasi dan ingin mengangkangi Jaminan Sosial beserta lembaga negara penyelenggaranya.

Ipang Sugiasmoro, Direktur Hukum dan Advokasi Anggaran Jamkeswatch Nasional secara tegas mengatakan menolak RUU Kesehatan tersebut untuk disahkan menjadi UU, karena dianggap menyesatkan dan membahayakan.

Baca Juga: Cak Imin: Jaminan Sosial Pekerja Bukan Hanya Tanggung Jawab Perusahaan, Tapi Kewajiban Pemerintah

“RUU Kesehatan ini sesat dan menyesatkan. Tidak hanya mengancam independensi dan eksistensi Jaminan Sosial, namun juga pengkhianatan atas perjuangan buruh dan pembelokan hukum. Jamkeswatch dengan tegas menolak RUU Kesehatan”, tegasnya.

Ia menyebut, RUU Kesehatan yang diduga akan dibentuk dan disahkan menggunakan metode UU Omnibus Law Cipta Kerja seakan mengorek kembali luka kaum buruh dan masyarakat pada produk hukum, yang sebelumnya telah mendapatkan reaksi penolakan keras dari seluruh kalangan masyarakat tersebut. Sebuah luka yang memborok, dirobek lagi, lalu disiram dengan air cuka. Pedih perih tiada terkira.

Lebih jauh Ipang mengajak semua pihak berkaca dari rekam jejak proses pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja, beberapa waktu lalu, sebelum disahkan oleh pemerintah. Masyarakat sedikit banyak telah belajar dan paham, saat detik-detik awal perancangan UU Cipta Kerja, yang dimulai dari dipaksa masuk Prolegnas tanpa status urgensi, draft UU yang tidak jelas dan berubah-ubah, judul dan substansi yang tidak relevan, dibahas maraton saat pandemi, tidak adanya partisipasi publik, ditetapkan tengah malam, digugat lalu ditangguhkan Mahkamah Konstitusi, bahkan diakali melalui PERPU serta seabreg kenyataan pahit lainnya.

Selain itu terbaca juga dalam RUU Kesehatan, laporan segala bentuk pertanggungjawaban kinerja BPJS ke depannya, tidak lagi langsung kepada presiden sesuai amanah UU saat ini, tetapi melalui kementerian dan akan diberikan penugasan oleh kementerian diluar dari kewajibannya. Jika sampai hal tersebut terjadi, dikhawatirkan akan menimbulkan pembelokan hukum, mempreteli independensi BPJS, mengancam keberlangsungan sekaligus menghambat implementasi Jaminan Sosial.

Hal itu tidak hanya akan melahirkan oligarki dan komersialisasi pada Jaminan Sosial, namun juga mendegradasi bahkan mengeliminasi hak warga negara, serta tumpang tindih implementasi pelaksanaan kebijakan.

Baca Juga: Kekayaan Ali Ghufron Mukti, Pasang Badan Tepis Isu BPJS Kesehatan Bangkrut

Pemerintah, saat ini tentunya tidak sedang pura-pura hilang akal, BPJS adalah badan hukum publik dan Jaminan Sosial adalah tujuan bernegara serta hak konstitusional warga negara yang dijamin undang-undang dasar 1945.