Suara.com - Pengalaman Filipina menghadapi Gray Zone Cina di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Filipina merupakan pelajaran berharga bagi Indonesia. Pasalnya, Indonesia juga menghadapi strategi gray zone Cina di wilayah ZEE Indonesia di perairan Natuna.
Demikian disampaikan oleh ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI), Johanes Herlijanto, Ph.D dalam webinar bertajuk “China’s Gray Zone Operation in South East Asia: the Case of the Phillippines,” yang diselenggarakan FSI melalui platform virtual.
Hadir sebagai pembicara utama dalam webinar tersebut Profesor Renato Cruz DeCastro, Ph.D, seorang ahli Hubungan Internasional terkemuka dari Universitas De La Salle University, Filipina. Bertindak sebagai moderator dalam webinar tersebut adalah Adri Arlan, M. IR, pengajar pada jurusan Hubungan Internasional Universitas Pelita Harapan (UPH) Jakarta.
Profesor Renato menyebutkan bahwa Cina telah melakukan aktivitas yang ia sebut sebagai operasi “gray zone” terhadap Filipina berkali-kali sejak tahun 1995. Menurut penjelasannya, aktivitas gray zone merupakan sebuah perang politik yang ditujukan untuk mencapai sebuah tujuan politik dari sebuah peperangan, namun tanpa harus melakukan pengerahan kekuatan militer secara masif.
Baca Juga: Begini Kondisi Rumah Ambruk Kena Longsor saat Kali Ciliwung Meluap
“Operasi gray zone tersebut lah yang diterapkan Cina kepada negara-negara yang memiliki perbatasan laut dengan Cina agar agresi militer Cina tetap berada di bawah tingkat operasi laut yang sesungguhnya, dan dapat disembunyikan melalui bantahan-bantahan,” jelas Renato.
Menurutnya strategi ini merupakan pengejawantahan dari strategi perang Sun Zi, yang antara lain mengajarkan cara menang dalam peperangan tanpa harus berperang.
“Berdasarkan prinsip inilah Cina berupaya menekankan klaimnya di Laut Cina Selatan, antara lain dengan membangun dan melakukan militerisasi pada pulau-pulau buatan di wilayah-wilayah yang masih berada dalam sengketa dengan Vietnam da Filipina, mengirimkan kapal-kapal nelayannya ke wilayah Laut Cina Selatan, serta menugaskan kapal-kapal unit lautnya untuk melakukan berbagai maneuver seperti yang terjadi pada awal bulan Februari ini di wilayah ZEE Filipina,” lanjut Renato.
Sebagai catatan, pertengahan Februari 2023 yang lalu, pemerintah Filipina menyampaikan sebuah pernyataan bahwa pada 6 Februari 2023 sebuah kapal milik Penjaga Pantai Cina telah menembakkan laser berstandar militer kepada kapal penjaga pantai Filipina di wilayah yang disengketakan di Laut Cina Selatan.
Wilayah di mana penembakan tersebut terjadi yang merupakan bagian dari ZEE Filipina, dan karenanya Filipina menganggap kejadian di atas sebagai sebuah pelanggaran yang nyata terhadap hak berdaulat Filipina.
Renato menilai bahwa model operasi gray zone Cina terlihat jelas dari manuver-manuver Cina terhadap Filipina dalam hampir dua dasawarsa terakhir. Di tahun 1995, militer Cina membangun sebuah pangkalan di Mischief Reef, sebuah pulau karang yang berada dalam wilayah ZEE Filipina.
Pada pertengahan 2012, kapal Angkatan Laut Filipina yang ingin menangkap delapan perahu nelayan Cina yang melakukan penangkapan ikan ilegal di wilayah sengketa Scarborough Shoal dihadang oleh dua kapal otoritas sipil Cina. Yang menarik, peristiwa tersebut justru berakhir dengan penguasan de facto Cina atas Scarborough Shoal.
Padahal, menurut Renato, sebelumnya terjadi kesepakatan agar masing-masing pihak mundur dari wilayah dimaksud, tetapi segera setelah kapal otoritas Filipina mundur, Cina malah mengirim kapal-kapal penjaga pantai lainnya ke wilayah tersebut.
Renato menekankan bahwa operasi gray zone di atas tetap berlangsung di era pemerintahan Presiden Durtete. Padahal Durtete dikenal sebagai presiden Filipina yang cenderung membangun hubungan baik dengan koleganya dari Cina, Presiden Xi Jinping.
“Namun di tengah hubungan yang dekat itu, sebanyak 275 kapal nelayan Cina menyambangi pulau Thitu, yang berada di bawah penguasaan Filipina,” pungkas Renato.
Ia juga menyatakan bahwa pada Agustus 2019, sejumlah kapal-kapal perang Cina memasuki wilayah Filipina tanpa persetujuan lebih awal dari Angkatan Bersenjata Filipina. Berikutnya, pada Februari 2020, kapal Angkatan Laut Cina dilaporkan mengarahkan “direktur pengontrol senjata” (GCD, Gun Control Ship) nya pada sebuah kapal milik Angkatan Laut Filipina.
Menurut Renato, perilaku Cina di atas menyebabkan pemerintahan Presiden Duterte mengubah respons. Bila pada awalnya Duterte kurang menganggap serius insiden-insiden yang terjadi antara aparat Filipina dan Cina, maka pada sekitar tahun 2020 an, pemerintah Filipina akhirnya menyadari bahwa sikap yang mengecilkan insiden-insiden yang terjadi dengan Cina justru memberi ruang bagi Beijing untuk meningkatkan agenda ekspansi maritimnya.
Oleh karenanya, Filipina mulai memberikan respons yang lebih keras dan serius terhadap berbagai insiden di atas, antara lain dengan makin memperkuat patroli penjaga kedaulatan di wilayah perairan yang masih berada dalam sengketa.
Ketua FSI yang juga pemerhati Cina dari UPH, Johanes Herlijanto, menilai pengalaman Filipina menghadapi operasi gray zone Cina membawa implikasi yang penting bagi Indonesia.
Pertama-tama, pengalaman Filipina memperlihatkan bahwa Indonesia, yang juga mengalami berbagai insiden dengan Cina di wilayah ZEE di perairan Natuna, bukan satu-satunya negara yang menjadi target dari operasi gray zone Cina.
Kedua, apa yang terjadi dengan Filipina memperlihatkan bahwa keputusan untuk menjalin hubungan mesra dengan Cina, seperti yang dilakukan oleh Presiden Durtete di awal pemerintahannya, tidak serta merta membuat Cina menghentikan, atau bahkan sekedar mengurangi, operasi gray zone mereka.
Hal lain yang juga menjadi hikmah dari pengalaman Filipina adalah, bahwa bersikap santai dan tidak menganggap serius insiden insiden yang terjadi dengan Cina bukankah sikap yang tepat. Sikap ini justru menambah semangat Cina untuk meningkatkan sikap agresifnya, karena kurang memperoleh tantangan yang serius.
Berkaca dari hal di atas, Indonesia perlu melanjutkan sikap serius yang sudah ditunjukan terkait upaya menjaga kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia di perairan Natuna yang sering menjadi target aktivitas gray zone Cina. Upaya meningkatkan kekuatan militer dan kehadiran Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut di wilayah ZEE terluar perlu untuk terus dilakukan.
Dan yang juga harus digaris bawahi adalah Indonesia perlu untuk berdiskusi dan berbicara dengan negara-negara ASEAN lainnya untuk mencari solusi bagi isu operasi gray zone Cina di wilayah Asia Tenggara. Statemen terakhir ini diamine juga oleh Renato, dengan memberi penekanan pada kerja sama antara negara-negara maritim Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Filipina, Vietnam, dan Malaysia.