Suara.com - Baik Tionghoa maupun komponen bangsa Indonesia lainnya dihimbau untuk menjalankan panggilan bersama untuk membangun bangsa dan negara, di tengah-tengah arus globalisasi dan tarik-menarik kekuatan-kekuatan dunia.
Himbauan itu disampaikan oleh Michael Andrew, aktivis dan co-founder Roemah Bhineka, dalam seminar bertajuk “Kebijakan Kewarganegaraan Tiongkok dan Etnik Tionghoa di Indonesia,” yang diselenggarakan oleh Forum Sinologi Indonesia (FSI), di Cikini, Jakarta.
Hadir juga dalam seminar tersebut ketua FSI yang juga seorang dosen pada Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan (UPH), Johanes Herlijanto, Ph.D. Bertindak sebagai moderator dalam seminar ini adalah Isyana Adriani, dosen Hubungan Internasional Universitas Presiden, Cikarang.
Seminar dimulai dengan pemaparan Johanes mengenai kebijakan Presiden Republik Rakyat Tiongkok (RRT) Xi Jinping terhadap orang-orang Tionghoa seberang lautan (Chinese Overseas).
Menurutnya, di bawah kepemimpinan Xi, kebijakan Tiongkok terkait dengan orang-orang Tionghoa seberang lautan makin jauh berbeda dari kebijakan yang diambil oleh para pemimpin-pemimpin Cina yang lalu.
Bila pada masa yang lampau terdapat pembedaan yang jelas antara orang-orang Tionghoa yang disebut huaqiao (Warga Negara Tiongkok perantauan) dan mereka yang disebut sebagai huaren (etnik Tionghoa) serta huayi (keturunan Tionghoa)—keduanya merujuk pada orang-orang Tionghoa yang tidak berkewarganegaraan Tiongkok—maka pada era Xi Jinping, pembedaan tersebut menjadi kabur.
Dalam berbagai pidato dan pernyataan, baik Xi Jinping sendiri maupun para pejabat tinggi di bawah kepemimpinannya seringkali menggunakan istilah-istilah yang menegaskan kembali hubungan antara Tiongkok dan orang-orang Tionghoa yang tersebar di seluruh dunia, tanpa memandang apapun kewarganegaraan mereka.
Padahal saat masih berada di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping, Tiongkok telah secara tegas melepaskan pengakuannya atas orang Tionghoa Perantauan yang telah memperoleh kewarganegaraan asing. Pengakuan tersebut tertuang dalam undang-undang kewarganegaraan yang diterbitkan pada tahun 1980.
Johanes mengatakan bahwa perubahan kebijakan terkait orang-orang Tionghoa di luar Cina itu terlihat jelas tak lama setelah Xi dikukuhkan sebagai pemimpin tertinggi Republik Rakyat Tiongkok (RRT) untuk pertama kalinya.
Baca Juga: Cara Tiongkok Genjot Warganya Cepat Punya Anak, Cuti hingga 30 Hari untuk Pengantin Baru
“Segera setelah berada di tampuk kekuasaannya pada 2013, Xi mempopulerkan konsep “Impian Cina” (China Dream) yang bertujuan pada peremajaan kembali (rejuvenation) bangsa Tiongkok. Dalam upaya peremajaan kembali bangsa Tiongkok inilah Xi mempopulerkan konsep ‘satu keluarga besar Tionghoa’ (Zhonghua da jiating), yang merujuk pada seluruh orang-orang Tionghoa tak peduli apapun status kewarganegaraan mereka,” tuturnya.