Suara.com - Gugatan yang dilayangkan PT Mahkota Sentosa Utama (MSU) kepada konsumen Meikarta telah memasuki persidangan perdana pada Selasa (24/1/2023) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat.
Adapun MSU adalah salah satu perusahaan yang bernaung di bawah Lippo Cikarang selaku pengembang Megaproyek Meikarta di Kawasan Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Gugatan tersebut dilayangkan karena pihak konsumen yang tergabung dalam Perkumpulan Komunitas Peduli Konsumen Meikarta (PKPKM) dinilai telah melakukan pencemaran nama baik, karena mengadu ke DPR RI. Alhasil mereka digugat untuk membayar ganti rugi sebesar Rp56 miliar.
Gugatan tersebut menjadi ironis, sebab sebanrnya para konsumen lah yang dirugikan karena hingga kini mereka belum juga menerima unit properti yang mereka beli. Padahal, dalam perjanjian awal disebutkan bahwa serah terima unit akan dilakukan pada 2019.
Baca Juga: Meikarta Punya Siapa? Pemiliknya Masuk Daftar Orang Paling Kaya di Indonesia
Lantas seperti apa perjalanan megaproyek Meikarta hingga bisa berakhir dengan gugatan pada konsumen? Berikut ulasannya.
Megaproyek itu bernama Meikarta
Megaproyek Meikarta pertama kali diperkenalkan ke publik pada 4 Mei 2017. Digadang-gadang sebagai kota mandiri baru, Meikarta di bangun di atas lahan seluas 500 hektare di Kawasan Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Grup Lippo mengklaim telah menguasai lahan tersebut sejak era 1990-an.
Dalam proyek ambisius tersebut, Chairman Lippo Group, James Riady menyatakan akan membangun 100 gedung di Meikarta dengan ketinggian masing-masing 35 lantai.
Ia melanjutkan, 100 gedung tersebut terbagi atas hunian sebanyak 250 ribu unit, perkantoran strata title,10 hotel bintang lima, pusat perbelanjaan dan area komersial seluas 1,5 juta meter persegi.
Baca Juga: Bak Jatuh Tertimpa Tangga, Kronologi Konsumen Meikarta Digugat Rp56 Miliar
"Khusus untuk perumahannya, kami membidik segmen kelas menengah. Harga hunian yang kami patok Rp 12,5 juta per meter persegi," tuturnya.
Ia lalu memperkirakan, jika proyek Meikarta ini rampung, dalam kurun waktu 20 tahun ke depan nilainya akan mencapai Rp278 triliun.
Belanja iklan fantastis
Lippo Group tak main-main dalam menggarap megaproyek Meikarta. Hal itu salah satunya bisa dilihat dengan masifnya iklan Meikarta di sejumlah media massa, mulai dari televisi, media cetak, online hingga pemasangan papan iklan di sejumlah lokasi strategis.
Melihat masifnya iklan Meikarta, Lembaga Riset Pemasaran Nielsen mengungkapkan sepanjang 2017 belanja iklan di Indonesia naik drastis. Salah satunya dilakukan Meikarta yang disebut melakukan belanja iklan lebih dari Rp1,5 triliun.
"Untuk sektor properti, belanja iklan dari Meikarta ini memang belum pernah kita lihat sebelumnya," terang Executive Director, Head of Media Business, Nielsen Indonesia, Hellen Katherina, melalui keterangan resminya, Kamis (8/2/2018).
Perizinan Meikarta dipertanyakan
Pada 2018, perizinan tata ruang megaproyek Meikarta mulai dipertanyakan, seiring dengan mencuatnya isu dugaan gratifikasi yang dilakukan sejumlah petinggi Lippo Group agar perizinan protek tersebut bisa dimuluskan.
Pihak-pihak yang mempertanyakan perizinan tersebut diantaranya Ombudsman Ri dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan nasional (ATR/BPN).
Ketika itu, Komisioner Ombudsman Alamsyah Saragih mempertanyakan mengapa Meikarta gencar melakukan pemasaran, padahal pembangunan belum diselesaikan serta belum mengantongi Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
Hal senada juga diutarakan oleh Direktur Jenderal Pengadaan Tanah Kementerian ATR/PBN saat itu, Arie Yuriwin.
Menurut dia, Lippo Group belum menyesuaikan tata ruang atas proyek Meikarta. Padahal, lanjut dia, halitu seharusnya dilakukan sebelum produk ditawarkan.
"Meikarta itu penyesuaian tata ruang belum ada. Jadi bagaimana dia sudah berbuih-buih jualan gitu, kita masih malah bingung kan," kata Arie saat menjadi pembicara pada seminar Kebijakan dan Regulasi Pembebasan Lahan Proyek Properti di Kantor PT Jasa Marga (Persero) Tbk, Kamis (15/3/2018).
Namun hal tersebut dibantah oleh James Riyadi. Menurut dia, perizinan Meikarta seiring dengan Lippo Cikarang karena merupakan bagian dari pengembangan Kawasan property yang telah lebih dulu ada itu.
Mendapat gugatan vendor iklan
Pada Mei 2018, PT MSU digugat oleh salah satu vendor iklannya PT Relys Trans Logistic dan PT Imperia Cipta Kreasi.
Dua perusahaan tersebut menilai pembayaran iklan PT MSU mandek, sehingga mereka menuntut pengadilan agar menetapkan PT MSU dalam keadaan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan segala akibatnya.
Namun akhirnya gugatan tersebut ditolak oleh Pengadilan Niaga dengan alasan masih ada laporan Meikarta terhadap dua vendor iklan tersebut yang diajukan ke kepolisian.
Meikarta terlibat kasus suap
Pada 29 Mei 2019, Bupati Bekasi nonaktif, Neneng Hasanah divonis hukuman penjara selama 6 tahun dan denda Rp250 juta karena terbukti bersalah menerima suap terkait perisinan proyek Meikarta sebesar Rp10,63 miliar dan SGD 90.000.
Sementara pihak Lippo yang berhubungan dengan Neneng untuk memuluskan proyek tersebut adalah Billy Sindoro yang menjabat sebagai Direktur Operasional Lippo Group. Ia divonis penjara selama 3,5 tahun dan denda sebesar Rp100 juta subsider2 bulan penjara.
Konsumen meradang
Setelah kasus suap itu lah, pembangunan Meikarta tersendat hingga muncul sejumlah keberatan dari konsumennya.
Karena tak kunjung menerima unit yang dijanjikan serah terima pada 2019, konsumen Meikarta yang tergabung dalam Perkumpulan Komunitas Peduli Konsumen Meikarta (PKPKM) mengadu ke DPR RI pada Desember 2022 lalu.
Ketua PKPKM Aep Mulyana mengatakan, pembeli sudah mencicil sejak 2017, namun hingga 2022 belum satupun yang melakukan serah terima unit apartemen.
"Hingga kini, masih banyak tanah kosong dan bangunan yang belum selesai peruntukannya," ujar Aep.
Meikarta gugat konsumen
Setelah mengadu ke DPR RI awal Desember 2022, pada 23 Desember 2022 keluar lah gugatan PT MSU kepada 18 konsumen Meilkarta yang tergabung dalam PKPKM.
Gugatan itu terdaftar dengan nomor perkara 1194/Pdt.G/2022/PN Jkt.Brt tertanggal 23 Desember 2022.
Hal yang mencengangkan, dalam gugatan tersebut PT MSU meminta ganti rugi kepada tergugat sebesar Rp56 miliar, karena dinilai telah melakukan pencemaran nama baik.
Nominal itu terdiri dari kerugian materiil penggugat sebesar Rp 44,1 miliar dan kerugian imateriil sebesar Rp 12 miliar.
"Di mana beberapa pihak tersebut memberikan berbagai pernyataan dan tuduhan yang menyesatkan, tidak benar dan bersifat provokatif dan menghasut. Hal-hal tersebut berdampak negatif dan merusak nama perseroan," ungkap manajemen PT MSU dalam keterangan tertulis pada awak media.
Kontributor : Damayanti Kahyangan