Suara.com - Pakta Konsumen bersama perwakilan Persatuan Perusahaan Rokok Kudus (PPRK), Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) menolak revisi Aturan PP 109/2012.
Revisi PP 109/2012 itu dinilai bukan solusi yang tepat dalam menangani permasalahan pertembakauan di Indonesia.
Ketua Umum Pakta Konsumen, Ari Fatanen mengatakan, adanya keengganan pemerintah untuk merangkul 69,1 juta konsumen rokok di Indonesia dalam perumusan dan penegakan kebijakan tembakau.
"Perlu melibatkan konsumen hal partisipatif dalam regulasi. Konsumen ini seperti anak tiri. Menyumbang cukai, infrastruktur, pembangunan, tapi hak partisipatif secara konstitusional saat ini belum diberikan. Sampai hari ini masih jarang terjadi apalagi apalagi di level setingkat menteri seperti halnya PP 109/2012. Justifikasi dengan satu sudut pandang saja," ujarnya seperti dikutip, Minggu (22/1/2023).
Baca Juga: Pekerja Hingga Konsumen Ramai-ramai Tolak Revisi PP 109/2012, Begini Alasannya
Padahal, Ari melanjutkan, substansi PP 109/2012 dipandang sudah cukup untuk mengatasi permasalahan terkait rokok, hanya masih lemah dalam praktiknya. PP 109/2012 sudah melarang keterlibatan anak-anak di bawah 18 tahun dalam aktivitas jual-beli hingga promosi rokok.
"Makanya bahwa prevalensi perokok itu dikaitkan dengan merevisi PP 109/2012, menurut saya hari ini yang dilakukan pemerintah tidak fair. Revisi PP 109/2012 tidak akan mengubah apapun apabila pemerintah tidak memberikan hak partisipasi bagi konsumen dalam perumusan kebijakan dan mendorong keterlibatan konsumen dalam gerakan penyuluhan rokok bersama bagi nonperokok, termasuk anak di bawah umur," jelas Ari.
Menurutnya, pemerintah perlu merangkul semua pemangku kepentingan terkait untuk melakukan pendekatan persuasif melalui gerakan bersama dalam upaya mencegah perokok anak.
Sekretaris Jenderal AMTI, Hananto Wibisono, menyepakati pendapat tersebut dengan menunjukkan ketidaksesuaian data pemerintah dengan kondisi riil perokok saat ini.
Padahal, data Badan Pusat Statistik (BPS) telah menunjukkan penurunan angka perokok anak berusia 18 tahun ke bawah sejak empat tahun terakhir. Namun, pemerintah tetap merujuk data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 sebagai dasar dari usulan revisi PP 109/2012 dalam Keppres 25/2022.
Baca Juga: Desakan Revisi PP 109/2012, Wujud Nyata Denormalisasi Ekosistem Pertembakauan
Di samping itu, alasan yang dipilih pemerintah dalam mendorong revisi tidak konsisten dan tidak berdasarkan pada hasil evaluasi.
"Evaluasi saja belum sudah berbicara tentang revisi. Hadirnya PP itu sudah mengurangi jumlah produksi rokok. Jumlah prevalensi perokok anak juga turun, kok. Pemerintah memperlakukan rokok sebagai produk legal yang perlakuannya ilegal," kata Hananto.
Sikap pemerintah lantas dianggap diskriminatif dan membunuh ekosistem tembakau dengan merugikan sekitar 2 juta petani tembakau, 2 juta peritel, 1,5 petani cengkeh, 600 ribu karyawan, dan negara sendiri.
Ketua Persatuan PPRK, Agus Sarjono, menyampaikan dampak dari kurangnya evaluasi PP 109/2012 terhadap perusahaan rokok. Perusahaan rokok berkontribusi dalam mencapai target pendapatan pemerintah dan mematuhi aturan, termasuk PP 109/2012. Akan tetapi, pemerintah justru mengesampingkan hal ini dan gagal menangkap celah pemberlakuan aturan yang lebih mendesak.
"Jumlah rokok SKT dan SKM sudah diatur perbungkusnya, jadi kita tidak mungkin mengakali. Kalau (pemerintah) akan mengatur tentang pendapatan negara itu masuk akal. Tapi kalau (pemerintah) mau lebih kreatif, (pemerintah seharusnya memikirkan) bagaimana memasifkan penanggulangan rokok ilegal karena ada dana DBHCHT," imbuh dia.
Pemerintah didesak untuk memikirkan penggunaan dana DBHCHT dengan tepat, tidak seperti kondisi saat ini yang kurang transparan.
Alih-alih merevisi PP 109/2012, pemerintah perlu memperkuat penegakan dan pengawasan. Optimalisasi PP 109/2012 perlu dikawal secara partifipatif dan inklusif sehingga tidak ada satu isu pun yang tertinggal, termasuk isu kesejahteraan sosial dan ekonomi.