Suara.com - Penerapan jalan berbayar di Jakarta atau Electronic Road Pricing (ERP) oleh Pemprov DKI menimbulkan pro dan kontra. Kebijakan ini dinilai akan membatasi mobilitas warga Jakarta, tetapi di sisi lain kebijakan ERP justru mengurangi kepadatan kendaraan di Jakarta.
Adapun, dalam rencana peraturan daerah tarif ERP yang dikenakan setiap kendaraan untuk melintasi jalanan Jakarta berkisar Rp 5.000 - Rp 20.000
Namun, Pengamat transportasi Djoko Setijowarno menilai, tarif yang dikenakan itu kurang buat jera para pemilik kendaraan. Menurutnya, Pemprov bisa mengenakan tarif jalan berbayar maksimal Rp 75.000.
"Tarif yang dikenakan bisa ditinggikan lagi, tarif Rp 5 ribu – Rp 20 ribu masih terlalu rendah (batas tertinggi bisa mencapai Rp 75 ribu). Tujuannya, agar ada efek jera menggunakan kendaraan pribadi secara berlebihan di jalan umum," ujar Djoko dalam keterangan di Jakarta, Rabu (18/1/2023).
Baca Juga: Kebijakan ERP Dipilih Karena Ganjil Genap Tidak Efektif Urai Kemacetan di Jakarta
Dia menuturkan, kebijakan penerapan ini juga harus dipertimbangkan terakit transportasi di DKI Jakarta dan daerah pendukungnya atau Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek).
Djoko mengakui, transportasi di DKI Jakarta sudah mumpuni untuk menerapkan kebijakan ini, tapi transportasi di Bodetabek masih jauh dari cukup.
"Layanan angkutan umum menuju Jakarta dari kawasan Bodetabek masih minim. Lain halnya di Kota Jakarta, cakupan layanan angkutan umum sudah dapat mengcover seluruh kawasan permukiman yang ada," jelas dia.
Djoko menambahkan, secara politis diragukan anggota DPRD DKI Jakarta akan meloloskan Raperda ini. Dilematis buat anggota DPRD DKI Jakarta yang akan mencalonkan diri menjadi anggota legislatif 2025-2029.
Sementara jika tidak dijadikan Perda, Jakarta akan tambah semakin macet, maka warga nanti akan menyalahkan DPRD bukan Gubernurnya.
Baca Juga: Dear Warga Jakarta, 25 Jalan Ini Akan Berbayar dari Rp 5.000 - Rp 19.000
"Sekarang saatnya lebih tepat penerapan ERP ketika Prov. DKI Jakarta dipimpin PJ Gubernur Heru Budi Hartono yang tidak memiliki beban politik," pungkas Djoko.