Suara.com - Kasus dugaan korupsi pemberian izin ekspor CPO di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat terus bergulir, kini merembet ke persoalan pemberian bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp6 triliun.
Apalagi fakta persidangan yang disampaikan saksi ahli dan para pakar menguraikan bahwa program Bantuan Tunai Langsung (BLT) tidak menghasilkan suatu kerugian negara, karena telah dianggarkan dan atas persetujuan DPR.
Akademisi Universitas Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda mengatakan bahwa persoalan DMO (Domestic Market Obligation ) merupakan persoalan administrasi karena itu tidak ada dampak kepada kerugian negara. Begitu pula dengan BLT tak ada kerugian negara disana.
“Jika dikatakan BLT merupakan kerugian negara yang pantas dihukum adalah pihak yang menikmati dan melakukan, yakni penerima dan pemberi BLT,” kata Chairul dikutip Rabu (28/12/2022).
Baca Juga: 2023 Tahun Resesi, Mohon Maaf BLT Nggak Ada Lagi
Chairul menegaskan tiga terdakwa kasus migor yang kini menjalani sidang hanya bertindak mewakili perusahaan. Berdasarkan aspek hukum, pekerja yang bertindak atas nama perseroan akan dilihat apakah tindakannya itu dalam rangka kepentingan pribadi atau tempat dia bekerja. Kalau ada hal-hal yang melawan hukum maka tidak serta merta akan dipertanggung jawabkan secara pribadi.
“Menjadi perbuatan pidana adalah jika ada UU melarang perbuatan itu. Kalau tidak ada, bisa jadi perbuatan itu sebagai pelanggaran administrasi yang hanya bisa diberi sanksi administrasi, dan bukan pidana,” tegasnya.
Sementara itu, Akademisi Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia Sadino menjelaskan bahwa kebijakan mandatori DMO dan DPO bukan berarti pemerintah bisa menghasilkan produksi minyak goreng yang cepat.
“Di situ dibutuhkan pengolah migornya atau "maklon" yang diserahi tugas untuk memproduksi dengan harga tertentu dan volume tertentu serta nilai rupiah per liter yang dibebankan ke maklon yang diserahi tugas khusus termasuk pembiayaannya,” kata Sadino.
Seperti di bidang BBM, kata Sadino, ada lembaga pengontrol tunggal seperti Pertamina. Sementara di minyak goreng tidak ada badan pengolah migor khusus oleh negara.
Baca Juga: Kantor Pos Surakarta Sukses Salurkan Bantuan BLT BBM, PKH, dan BPNT ke Masyarakat
Sadino menjelaskan dengan adanya BLT berarti negara hadir atas kesulitan rakyat dalam menghadapi tekanan ekonomi akibat naiknya berbagai kebutuhan hidup, terutama pangan.
"Ya kalau itu BLT jadi tindak pidana korupsi, tentu pembuat anggaran BLT bisa jadi salah. Mulai dari penyusun anggaran BLT, yang menyetujui anggaran BLT, yang menggunakan anggaran BLT, yang menyalurkan anggaran BLT dan yang menerima BLT minyak goreng jadi kena Tipikor," pungkasnya.
Kasus dugaan korupsi pemberian izin ekspor CPO di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat terus bergulir, kini merembet ke persoalan pemberian bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp6 triliun.
Apalagi fakta persidangan yang disampaikan saksi ahli dan para pakar menguraikan bahwa program Bantuan Tunai Langsung (BLT) tidak menghasilkan suatu kerugian negara, karena telah dianggarkan dan atas persetujuan DPR.
Akademisi Universitas Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda mengatakan bahwa persoalan DMO (Domestic Market Obligation ) merupakan persoalan administrasi karena itu tidak ada dampak kepada kerugian negara. Begitu pula dengan BLT tak ada kerugian negara disana.
“Jika dikatakan BLT merupakan kerugian negara yang pantas dihukum adalah pihak yang menikmati dan melakukan, yakni penerima dan pemberi BLT,” kata Chairul dikutip Rabu (28/12/2022).
Chairul menegaskan tiga terdakwa kasus migor yang kini menjalani sidang hanya bertindak mewakili perusahaan. Berdasarkan aspek hukum, pekerja yang bertindak atas nama perseroan akan dilihat apakah tindakannya itu dalam rangka kepentingan pribadi atau tempat dia bekerja. Kalau ada hal-hal yang melawan hukum maka tidak serta merta akan dipertanggung jawabkan secara pribadi.
“Menjadi perbuatan pidana adalah jika ada UU melarang perbuatan itu. Kalau tidak ada, bisa jadi perbuatan itu sebagai pelanggaran administrasi yang hanya bisa diberi sanksi administrasi, dan bukan pidana,” tegasnya.
Sementara itu, Akademisi Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia Sadino menjelaskan bahwa kebijakan mandatori DMO dan DPO bukan berarti pemerintah bisa menghasilkan produksi minyak goreng yang cepat.
“Di situ dibutuhkan pengolah migornya atau "maklon" yang diserahi tugas untuk memproduksi dengan harga tertentu dan volume tertentu serta nilai rupiah per liter yang dibebankan ke maklon yang diserahi tugas khusus termasuk pembiayaannya,” kata Sadino.
Seperti di bidang BBM, kata Sadino, ada lembaga pengontrol tunggal seperti Pertamina. Sementara di minyak goreng tidak ada badan pengolah migor khusus oleh negara.
Sadino menjelaskan dengan adanya BLT berarti negara hadir atas kesulitan rakyat dalam menghadapi tekanan ekonomi akibat naiknya berbagai kebutuhan hidup, terutama pangan.
"Ya kalau itu BLT jadi tindak pidana korupsi, tentu pembuat anggaran BLT bisa jadi salah. Mulai dari penyusun anggaran BLT, yang menyetujui anggaran BLT, yang menggunakan anggaran BLT, yang menyalurkan anggaran BLT dan yang menerima BLT minyak goreng jadi kena Tipikor," pungkasnya.