Suara.com - Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PT Pengembangan Armada Niaga Nasional atau PT PANN (Persero) resmi dibubarkan usai sebagaimana dijelaskan dalam Kepres No.25 Tahun 2022. PANN dianggap sudah tidak mampu menjalankan usaha dengan jumlah karyawan tersisa hanya 7 orang saja.
Pada tahun 2020 silam, Menteri BUMN Erick Thohir menyinggung model bisnis PANN yang dianggap keluar dari jalur. PANN yang seharusnya memiliki bisnis pembiayaan justru menjalankan bisnis perhotelan.
Dikutip dari laman resmi terkait, PT PANN merupakan perusahaan pengembangan armada niaga yang berdiri pada Mei 1974.
Perusahaan yang menjadi salah satu gawang dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun atau Repelita II dri pemerintah Soeharto kala itu dibentuk dengan tujuan bergerak di bidang pembiayaan armada niaga Indonesia.
Baca Juga: Ikuti Arahan Erick Thohir, Holding Pangan ID FOOD Dorong UMKM Perempuan Untuk Maju
Pada 1995 hingga 2006, PT PANN (Persero) turut andil dalam bisnis usaha pembiayaan kapal, shipping, shipyard, manajemen perkapalan hingga pialang asuransi kapal.
Sayangnya, bisnis PANN lantas mengalami guncangan usai memberikan sewa 10 pesawat boeing 737-200 bekas maskapai Jerman, Luftansa pada empat perusahaan. Keempat perusahaan itu dilaporkan tidak mampu membayar biaya sewa.
Ditambah lagi, proyek 31 unit kapal ikan oleh PT Industri Kapal Indonesia (Persero) yang juga gagal karena hanya menyelesaikan kurang dari 50 persen target. Padahal, proyek ini menelan biaya besar kala itu.
Dampaknya, PT PANN Multi Finance (Persero) terus mengalami kerugian dan membuat perusahaan menderita ekuitas negatif.
PANN mulai berusaha bangkit pada 2012 lalu dengan memisah bisnis melalui anak usaha PANN Multifinance. Sayangnya, langkah ini juga sia-sia sebelum akhirnya PANN justru menyimpang dan menjalan usaha di luar lini bisnis mereka.
Baca Juga: Kapan Pengumuman Hasil TKD dan Core Values BUMN? Tunggu Tahun Depan!
Bermasalah tapi Dapat Modal Negara
Meski bermasalah, PANN justru jadi salah satu BUMN yang mendapatkan penyertaan modal negara (PMN) senilai Rp 3,76 triliun.
Hal ini agar PANN bisa menutup nilai kewajiban perusahaan yang telah membengkak sejak era 90-an. Utang perusahaan juga terus membengkak akibat service level agreement (SLA) yang yang dilakukan pemerintah Indonesia dengan Jerman dan Spanyol kala itu.
"Kedua transaksi ini memang bukan core business PANN, gak ada ahli dan kompetensi di pesawat dan kapal armada niaga, bukan kapal ikan. 10 pesawat itu nilainya dengan kurs saat itu US$ 89,6 juta dan 31 kapal ikan US$ 182 juta," kata Direktur Utama PANN Hery S. Soewandi pada 2019 silam.
Sementara, empat maskapai yang menerima pesawat itu semuanya sudah dinyatakan pailit yakni Mandala (2 pesawat), Bouraq (2 pesawat), Merpati (3 pesawat) dan Sempati (3 pesawat).
PT PANN sempay mengajukan penghentian pembayaran bunga kepada pemerintah pada 2006. Kemudian pada 2009, PANN lagi-lagi meminta restrukturisasi atas utang tersebut dan dikabulkan pada 2010 lalu.
PT PANN meminta PMN senilai Rp3,76 triliun dari pemerintah dengan tujuan konvesri SLA terkait. Restrukturisasi atas Utang SLA telah mendapat Persetujuan Pemerintah Republik Indonesia melalui Surat Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : S-537/MK.05/2019 Tanggal 16 Juli 2019 Perihal Persetujuan Penyelesaian Piutang Negara pada PT Pengembangan Armada Niaga Nasional (Persero).
Selanjutnya, Penambahan Penyertaan Modal Negara (PMN) Non Tunai dari Konversi Utang SLA kepada PT PANN (Persero) tertuang dalam Undang - Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2019 Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2020 serta penghapusan Utang Non Pokok SLA telah tertuang dalam Laporan Singkat Komisi VI DPR RI.