Laporan Terbaru IEA: Era Batubara Diproyeksikan Akan Segera Berakhir

Iwan Supriyatna Suara.Com
Minggu, 25 Desember 2022 | 14:33 WIB
Laporan Terbaru IEA: Era Batubara Diproyeksikan Akan Segera Berakhir
Dermaga batubara di Palembang, Sumsel [ANTARA]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - International Energy Agency (IEA) baru-baru ini merilis laporan Coal 2022 yang menyoroti tantangan global yang sangat kompleks dalam bertransisi dari energi batubara ke energi bersih.

Laporan ini juga menganalisis dampak strategi Indonesia sebagai produsen terbesar ketiga di dunia yang berencana terus memperluas produksi batubaranya.

Pada tahun ini pula, berdasarkan temuan laporan itu, penggunaan batubara meningkat, tetapi tetap terkendali karena penggunaan energi terbarukan yang masif.

Laporan ini juga menyoroti lanskap energi global yang terus bergerak mendekati puncak penggunaan bahan bakar fosil dan ke depan sebagian besar pertumbuhan akan berasal dari energi terbarukan. Batubara akan menjadi sumber energi yang pertama menurun.

Baca Juga: Istana Pura Mangkunegaran Gunakan Listrik EBT Melalui REC PLN

“Masa puncak penggunaan batubara diproyeksikan semakin dekat. Ini dipercepat oleh beberapa faktor pendorong seperti penguatan komitmen iklim, volatilitas harga batubara, geopolitik, krisis rantai pasokan global, dan keterjangkauan energi terbarukan. Kondisi ini akan menurunkan permintaan batubara pada masa depan secara drastis, termasuk di negara berkembang,” ujar Andri Prasetiyo, Peneliti dan Manajer Program Trend Asia.

Menurutnya, temuan laporan ini seharusnya menjadi sinyal positif bagi pemerintah untuk segera serius mengambil langkah transisi energi dan menerapkan kebijakan kebijakan strategis. Ironisnya, pada 2023 pemerintah Indonesia justru merencanakan peningkatan produksi batubara tertinggi sepanjang sejarah dari semula 663 juta ton menjadi sebesar 694 juta ton.

“Negara berkembang seperti Indonesia yang sampai saat ini masih bersikeras untuk meningkatkan kuota produksi batubara harus bersiap dan mulai mengubah orientasinya. Tingkat produksi batubara harus dikurangi secara signifikan pada fase transisi energi dan penurunan permintaan global, agar target iklim global tercapai dan membuka lebih banyak peluang untuk pengembangan energi terbarukan dalam sistem pembangkitan listrik,” imbuhnya.

Ia pun menekankan, meski belakangan ini, lanskap energi batubara terlihat sedang dalam fase gemilang dan banyak meraup keuntungan 'windfall', kondisi ini tidak boleh membuat pemerintah berpuas diri.

“Perlu disadari bahwa kondisi ini berpotensi menjadi masa-masa indah terakhir dan titik balik perpisahan dengan batubara,” ucapnya.

Baca Juga: Pasca Putusan PK Mahkamah Agung, BSS Siap Tancap Gas

Dave Jones, Kepala Wawasan Data EMBER mengemukakan, laporan IEA secara terang menunjukkan energi terbarukan akan menghentikan penggunaan pembangkit listrik tenaga batubara pada tahun-tahun mendatang.

“Energi terbarukan bekerja untuk iklim. Dan dengan harga batubara yang masih mencapai rekor tertinggi, ini berarti energi terbarukan juga bekerja untuk para pembayar tagihan,” ucapnya.

Selain itu, hasil analisis laporan IEA menunjukkan, dalam sepuluh tahun terakhir biaya energi terbarukan telah turun sebesar 99%. Itu sebabnya, Seb Kennedy, Kepala Wawasan Data di Transition Zero menilai energi terbarukan sangat relevan dalam memastikan aspek keamanan energi setiap negara.

“Meskipun terjadi sedikit inflasi pasca-Covid, kombinasi angin dan matahari dengan sistem penyimpanan energi masih menawarkan lindung nilai yang sangat baik terhadap volatilitas harga batubara dan gas, sekaligus menyelaraskan dengan target iklim dan energi internasional, serta meningkatkan keamanan dan keterjangkauan energi,” tuturnya.

Alexandru Musta, juru kampanye batubara di Europe Beyond Coal pun menyoroti aspek keamanan dan keterjangkauan energi ini. Ia berpandangan, analisis IEA menggarisbawahi kebutuhan mendesak negara-negara untuk secara besar-besaran meningkatkan energi terbarukan dan efisiensi energi sehingga dapat memotong tagihan masyarakat, mengamankan pasokan energi, dan mempertahankan target iklim tetap utuh.

“Yang terpenting, tidak ada negara Eropa yang merevisi rencananya untuk menghentikan batubara sepenuhnya pada 2030, dan Eropa masih berada di jalur yang tepat untuk bebas batubara pada akhir dekade ini. Sekaranglah waktunya bagi pemerintah untuk secara ambisius berinvestasi dalam solusi hijau sehingga kita tidak mengambil risiko jatuh kembali pada bahan bakar fosil yang membuat kita semakin sakit, miskin, dan kurang aman,” ujar Alexandru.

Tidak hanya batubara, energi fosil lainnya seperti gas juga menjadi sorotan. Pemimpin E3G, Pieter de Pous mengutarakan, ada dua pelajaran yang bisa diambil dari situasi pasar batubara pada tahun ini, yakni ketergantungan yang berlebihan pada gas sebagai jembatan transisi energi dan kurangnya investasi energi terbarukan pada masa lalu justru mempersulit negara pecandu batubara untuk berhenti menggunakannya.

“Permintaan batubara yang kuat di negara-negara berkembang Asia yang dicatat dalam laporan tersebut memastikan bahwa batubara tetap menjadi sumber emisi karbon global terbesar. Kita harus segera mengatasi ini agar memiliki kesempatan menjaga pemanasan global di bawah 1,5 derajat,” tambah Camilla Fenning, Pemimpin Program E3G.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI