SPKS Minta Pemerintah Evaluasi Skema Kemitraan Petani Plasma

Iwan Supriyatna Suara.Com
Jum'at, 23 Desember 2022 | 05:55 WIB
SPKS Minta Pemerintah Evaluasi Skema Kemitraan Petani Plasma
Buah kelapa sawit. [Inibalikpapan.com]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) meminta pemerintah mengevaluasi kebijakan yang mengatur skema kemitraan petani plasma kelapa sawit karena dinilai tidak relevan lagi dengan kondisi sekarang.

"Skema kemitraan dengan mekanisme penyerahan lahan dan menempatkan perusahaan sebagai mitra yang mengelola penuh lahan masyarakat dengan pola bagi hasil sudah tidak relevan lagi, sehingga sudah seharusnya pemerintah meninggalkan skema seperti ini," kata Kepala Advokasi SPKS Marselinus Andri dalam keterangannya.

Petani plasma adalah petani kelapa sawit yang bermitra dengan perusahaan swasta atau pemerintah dalam mengelola perkebunannya.

Andri mengungkapkan temuan utama hasil investigasi yang dilakukan The Gecko Project (organisasi investigasi soal korupsi, perubahan iklim, hutan, dan HAM) di perkebunan sawit menunjukkan skema kemitraan gagal menghasilkan kesejahteraan bagi para petani di desa, dan sebaliknya berpotensi mengurangi pendapatan dan lahan.

Dalam temuan The Gecko Project 2022, masyarakat yang terikat dalam skema plasma disebut memperoleh bagian sangat kecil dari keuntungan yang bisa dihasilkan perkebunan.

Berdasarkan kajian-kajian lepas yang ada, kebun plasma dapat menghasilkan keuntungan lebih dari Rp22 juta per hektare tiap tahun. Para petani sawit mandiri, yang menggarap kebun tanpa dukungan perusahaan perkebunan, bisa mendapat keuntungan lebih dari Rp15 juta per hektare tiap tahun.

"Namun, dari beberapa kasus plasma yang mereka selidiki, para petani itu hanya mendapatkan keuntungan rata-rata sekitar Rp2,5 juta," kata Andri.

Dalam catatan SPKS, pendapatan petani plasma umumnya sangat rendah dan tidak cukup untuk membayar angsuran utang kredit akibat rendahnya produksi dari kebun yang dikelola tidak sesuai standar agronomis yang ditetapkan pemerintah.

“Situasi seperti ini terjadi akibat pengelolaan plasma yang tidak transparan melalui perjanjian yang cenderung hanya menguntungkan pihak perusahaan sebagai mitra," kata Andri.

Baca Juga: Campuran 40% Minyak Sawit di BBM Akan Dikembangkan, Pemerintah Akui Masih Terkendala

Dia menyebut peran pemerintah dalam melakukan pengawasan dan evaluasi harus diimplementasikan, misalnya tindakan Penilaian Usaha Perkebunan (PUP) yang harus diterapkan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI