Pemerintah Harus Punya Benteng Halau Intervensi Industri Tembakau dari Asing

Rabu, 21 Desember 2022 | 15:55 WIB
Pemerintah Harus Punya Benteng Halau Intervensi Industri Tembakau dari Asing
Petani memanen daun tembakau yang terendam banjir di Desa Bono, Tulungagung, Jawa Timur, Senin, (3/10/2022). Panen dini terpaksa dilakukan petani untuk mencegah kerusakan tanaman tembakau mereka yang terendam air akibat guyuran hujan dalam beberapa hari terakhir. ANTARA FOTO/Destyan Sujarwoko (ANTARA FOTO/Destyan Sujarwoko)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Sejumlah pihak menilai kebijakan yang ditetapkan pemerintah soal pertembakauan sarat akan intervensi lembaga asing. Hal ini terbukti dari adanya pemberian donor kepada sejumlah organisasi di Indonesia oleh lembaga asing untuk kampanye anti tembakau.

Akademisi Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan, pemerintah harus punya benteng agar tidak mudah diintervensi oleh lembaga asing, terlebih dalam hal kebijakan.

Pasalnya, kebijakan yang sarat akan intervensi lembaga asing berpotensi mencederai kepentingan nasional dan kedaulatan negara.

Hikmahanto juga menanggapi adanya gelaran Konferensi Aliansi Kota Asia Pasifik atau 7th Asia Pacific Summit of Mayors APCAT yang menurutnya adalah bagian dari strategi lembaga filantropi Bloomberg dalam aksi pengendalian tembakau, khususnya di Indonesia.

Baca Juga: Harga Rokok Awal Tahun Naik, Ahli Hisap Siap-siap Rogoh Kocek Dalam

"Mereka berpikir misal para wali kota ini bisa membuat aturan-aturan di kota mereka masing-masing yang melarang orang merokok. Mode pendekatan yang memanfaatkan otonomi daerah tersebut harapannya tidak akan serumit mereka mendekati kepala pemerintahan. Pasalnya, harmonisasi regulasi memang masih menjadi pekerjaan rumah koordinasi lintas kementerian lembaga maupun pemerintah pusat dan daerah," ujar Hikmahanto kepada wartawan yang ditulis, Rabu (21/12/2022).

Dia menjelaskan, secara hukum, lembaga asing memang tidak dilarang untuk mengadakan program bahkan mempersuasi pihak manapun selama tidak melakukan intervensi kebijakan nasional.

Maka itu, pemerintah, baik di tingkat nasional maupun daerah, memiliki kewenangan penuh dalam  menerima atau menolak adanya ikut campur lembaga asing dalam setiap penyusunan kebijakan. Pemerintah daerah, lanjut Hikmahanto, seharusnya memperhatikan kepentingan rakyatnya dalam menyusun kebijakan.

"Para wali kota ini kan juga kotanya banyak yang bertumpu pada industri hasil tembakau. Kalau misalnya nanti rakyatnya tidak ada lapangan pekerjaan, kan mereka juga yang harus bertanggung jawab menghadapi rakyatnya," kata Hikmahanto.

Hikmahanto menyampaikan, kebijakan-kebijakan soal tembakau seharusnya mengedepankan prinsip keseimbangan dan keadilan. Dalam hal ini, kepentingan konsumen dan para pihak yang berkaitan dengan mata rantai industri hasil tembakau pun harus diakomodasi.

Baca Juga: Industri Rokok RI Digempur Intervensi Asing, Maunya Apa?

Satu hal yang juga penting untuk disorot adalah pentingnya harmonisasi antara satu peraturan dengan yang lain terkait kebijakan soal tembakau. Tumpang tindih, inkonsistensi dan disharmonisasi peraturan hanya akan menimbulkan ketidakpastian hukum.

"Jadi intinya harus seimbang, harus memahami, jangan terlalu mendengar lembaga-lembaga asing seperti Bloomberg yang memang sudah dikenal ingin mematikan industri rokok yang tujuannya mungkin bukan untuk kesehatan, tetapi tujuannya ada kepentingan lain," tutur dia.

Sebelumnya, dalam gelaran 7th Asia Pacific Summit of Mayors APCAT awal Desember lalu, Direktur Bloomberg Philanthropies Kelly Larsson menyampaikan sejak tahun 2007, pihaknya telah mendonasikan lebih dari satu miliar dolar AS untuk mendukung pengendalian tembakau di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah di seluruh dunia.

Bloomberg Philanthropies telah berhasil mendorong pemerintah setempat untuk menerbitkan regulasi soal tembakau di negaranya masing-masing.

"Ketika kami pertama kali memulai pada tahun 2007, hanya ada 64 kebijakan pengendalian tembakau secara nasional. Lalu, 15 tahun kemudian, tahun ini, ada lebih dari 290 kebijakan," paparnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI