Ekosistem Pertembakauan Minta Pemerintah Kedepankan Sense of Crisis

Iwan Supriyatna Suara.Com
Kamis, 15 Desember 2022 | 13:37 WIB
Ekosistem Pertembakauan Minta Pemerintah Kedepankan Sense of Crisis
Tembakau merupakan bahan utama rokok. (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Elemen eksosistem pertembakauan menyayangkan di tengah kondisi kontraksi ekonomi, pemerintah belum mengambil langkah maupun kebijakan yang komprehensif untuk mendorong pertumbuhan ekosistem ini.

Padahal seperti diketahui dari paparan Rapat Kerja Kementerian Keuangan Bersama DPR RI, Senin (12/2), target penerimaan negara dari cukai hasil tembakau (CHT) telah mencapai Rp1.580 triliun atau 106,4 persen dari target.

Oleh karena itu, seharusnya ekosistem pertembakauan justru diberi ruang untuk semakin bertumbuh dan berdaya saing.

“Dengan segala daya dan upaya, sektor pertembakauan berhasil mencapai target dan memberikan kontribusi besar terhadap penerimaan negara. Bahkan, tahun depan, proyeksi penerimaan CHT dinaikkan mencapai Rp 245,45 triliun. Sayangnya, hal ini tak sejalan dengan peran pemerintah mendorong pertumbuhan ekosistem pertembakauan. Sebaliknya, masih banyak regulasi eksesif dan tidak komprehensif yang mengelilingi sektor pertembakauan. Komitmen untuk membangun ekosistem pertembakauan baik di tingkat hulu maupun hilir masih minim,”papar Hananto Wibisono, Sekjen Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI).

Baca Juga: Pemerintah Tarik Cukai Plastik dan Minuman Berpemanis, DPR Harap jadi Bahan Edukasi Warga akan Bahaya Diabetes

Hananto mencontohkan, narasi-narasi terhadap revisi PP No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan masih terus digaungkan.

AMTI bersama mata rantai ekosistem pertembakauan telah bersurat kepada Presiden untuk memohon perlindungan dan menyampaikan aspirasi untuk menolak revisi PP 109 Tahun 2012 dalam bentuk regulasi apapun.

Di sisi lain, regulasi seperti Raperda maupun Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) juga masih banyak yang tidak harmoni dengan peraturan perundangan di atasnya.

“Ditambah lagi dengan kentalnya unsur intervensi asing seperti dalam momentum gelaran 7th Asia Pacific Summit Mayors APCAT yang di dalamnya hadir sejumlah lembaga asing. Pada hajatan internasional tersebut, secara terang-terangan lembaga asing menjadi sponsor untuk mengatur kebijakan tembakau di Indonesia,” tegas Hananto.

Empat pilar yang disebut-sebut menjadi pegangan pemerintah dalam penentuan kebijakan seperti pengendalian konsumsi, keberlangsungan tenaga kerja, optimalisasi penerimaan negara, dan peredaran rokok ilegal, menurut Hananto, juga tidak berimbang.

Baca Juga: Buat yang Suka Pakai Plastik dan Minuman Manis, Tahun Depan Ada Cukainya

Dalam hal pengendalian konsumsi, misalnya, Kementerian Keuangan dalam menentukan kebijakan fiskal, justru berlandaskan data tebang pilih.

“Industri hasil tembakau juga sejalan dengan pemerintah untuk memerangi perokok usia muda. Namun, data yang menjadi acuan tidak jelas. Data yang digunakan justru data Riskesda yang berbeda dengan data BPS. Data BPS menunjukkan bahwa konsumsi rokok pada kelompok umur di bawah 18 tahun telah berada di angka 3,44%. BPS ditunjuk sebagai lembaga pengelola data, satu data Indonesia. BPS bertanggung jawab untuk mengumpulkan dan mengelola data namun kebijakan yang diambil seolah meragukan akurasi dan validitas data BPS,” kata Hananto.

Padahal, data yang akurat, mutakhir, dan dapat dipertanggungjawabkan harus menjadi acuan dalam program pembangunan.

Regulasi yang tidak komprehensif juga sangat berpengaruh pada pengambilan keputusan terkait penerapan regulasi pertembakauan, terutama yang berkaitan dengan dampak kesehatan.

Ekosistem pertembakauan, sebut Hananto, di-framing harus bertangungjawab atas berbagai penyebab penyakit. Mulai dari kesehatan ibu anak, penyakit akut dan kronis, hingga resiko kematian.

“Ini tidak adil. Seolah-olah semua penyakit yang ada di dunia ini disebabkan oleh tembakau. Tentunya ini harus dibuktikan dengan kajian ilmiah dan data yang lengkap. Ini mempengaruhi regulasi fiskal dan non fiskal yang mengatur seluruh ekosistem pertembakauan,” ujarnya.

Ketika seluruh dunia saat ini tengah dalam kondisi waspada risiko stagflasi akibat ketidakpastian ekonomi global, di mana inflasi melonjak, sedangkan pertumbuhan ekonomi menurun dan angka pemutusan hubungan kerja meningkat, pemerintah harus memiliki sense of crisis.

“Peran pemerintah bukan sekadar memitigasi potensi-potensi penerimaan negara namun juga harus memiliki sense of crisis. Pemerintah harus sensitf, membantu, memberi kesempatan sektor atau segmen industri yang bisa bertahan sejauh ini, salah satunya ekosistem pertembakauan,” tambahnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI