Suara.com - Sejumlah perwakilan organisasi masyarakat sipil dan Organisasi Serikat Petani Indonesia yang terdiri dari Sawit Watch (SW), Kaoem Telapak, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Pusaka, Elsam, The Institute for Ecosoc Rights, Indonesia for Global Justice (IGJ), dan Walhi Eksekutif Nasional melakukan pertemuan bersama Departemen Komisi Eropa yang mengurusi Lingkungan dan Kemitraan Internasional di Brussels pada 23 November 2022.
Pertemuan ini dilakukan untuk memberi respon dan masukan terhadap proposal Regulasi Uni Eropa mengenai produk bebas deforestasi yang diajukan oleh Komisi Eropa pada bulan November 2021 untuk memastikan agar produk-produk yang masuk ke (atau diekspor dari) pasar Uni Eropa berasal dari sumber- sumber yang legal dan tidak menyebabkan deforestasi atau degradasi hutan.
Regulasi ini akan berlaku untuk enam komoditas dan produk turunan, seperti kayu (termasuk kertas), sawit, kedelai, kopi, biji kakao, dan daging sapi.
Direktur Sawit Watch, Achmad Surambo mengatakan draf proposal regulasi Uni Eropa yang diajukan oleh Komisi Eropa merupakan sebuah perkembangan yang positif, terlepas dari apa yang menjadi perdebatan terutama oleh masyarakat sipil dan negara produsen saat ini.
Baca Juga: PT Dongin Prabhawa Dukung Percepatan Pembangunan SDM di Tanah Papua
Lebih lanjut, Rambo mengatakan jika regulasi ini diterapkan dengan baik, misalnya persyaratan ketertelusuran dan transparansi, bisa menjadi instrumen penting bagi LSM dan petani kecil Indonesia dalam menyelamatkan hutan dan masyarakat Indonesia.
Sebagai contoh, Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB) akan diperkuat dengan data minyak sawit yang lebih baik dari pemetaan dan verifikasi seperti yang dipersyaratkan EUDR dan dengan memasukkan Pendekatan Stok Karbon Tinggi (HCSA) sebagai cara untuk membuktikan tidak ada deforestasi yang dilakukan oleh petani kecil dan perusahaan.
“Tetapi, penting bahwa beberapa amandemen yang diusulkan akan diambil dan elemen kemitraan dijabarkan lebih lanjut untuk menyelaraskan gagasan Indonesia dan Uni Eropa, termasuk dalam hal peluang keuntungan bagi stakeholder - petani maupun negara produsen - atas praktek baik yang dilakukan, misalnya perlindungan hutan,” tegas Rambo.
Menurut Rambo, penting bagi UE untuk memantau perdagangan, mendukung petani kecil, mendukung Rencana Aksi Nasional minyak sawit.
“Dan ini dapat membantu membuka ruang bagi kami, jika kami dapat terlibat dalam kemitraan.” ucapnya.
Baca Juga: Apkasindo Khawatir Kampanye Negatif-Intervensi Lembaga Asing Ganggu Industri Sawit dan Tembakau
Rambo menambahkan bahwa hubungan saat ini antara UE dan Indonesia tidak terlalu menggembirakan, dan peluang pendekatan kemitraan harus menjadi elemen kunci dari proposal regulasi UE, sehingga ini akan memungkinkan UE untuk bekerja dengan Indonesia untuk memantau perdagangan minyak sawit dan komoditas lainnya, mendukung petani kecil, buruh dan masyarakat adat dan juga akan membuka ruang bagi CSO, termasuk organisasi petani kecil untuk berperan.
Seperti kita ketahui, ISPO sebagai mekanisme sertifikasi sawit Indonesia dianggap belum cukup untuk menghentikan deforestasi karena hanya berhenti pada areal kawasan lindung moratorium.
Melalui RAN-KSB, Indonesia punya mandat untuk memperkuat ISPO lewat penguatan data, resolusi konflik dengan masyarakat, dan membangun kapasitas petani.
Mandat dalam RAN-KSB juga mendorong implementasi konkrit dari rantai pasok bebas deforestasi di tingkat daerah karena kontennya mewajibkan semua daerah memiliki basis data perizinan yang kuat.
Dengan fokus penguatan implementasi RAN-KSB di tingkat nasional dan daerah, ada potensi juga untuk mendorong diberlakukannya lagi kebijakan moratorium sawit yang penting artinya untuk rantai pasok bebas deforestasi. Hal ini penting untuk memastikan komoditas kita punya tata kelola baik sehingga akses pasar baik di Uni Eropa dan pasar di Indonesia.
“Dalam RAN-KSB juga banyak yang harus dibenahi pemerintah, seperti pendataan. RAN-KSB dan RAD-KSB di tingkat daerah juga perlu dilengkapi indikator capaian yang lebih rinci,” tegas Rambo.
Sejalan dengan harapan ini, Pemerintah Indonesia melalui Bappenas dan Kementerian Investasi juga baru saja meluncurkan platform data bersama untuk Indikator Yurisdiksi Berkelanjutan yang dapat digunakan sebagai referensi.
Peneliti The Institute for Ecosoc Rights, Sri Palupi mengapresiasi dan mendukung bahwa hak asasi manusia khususnya hak atas tanah dan hak masyarakat adat, diberikan posisi penting dalam proposal Dewan dan Parlemen Uni Eropa.
Lebih lanjut, Sri Palupi mengatakan bahwa proposal regulasi tersebut didukung oleh kenyataan bahwa sulit untuk menghentikan deforestasi tanpa menghormati hak asasi manusia, dan bahwa masyarakat adat memainkan peran penting dalam melindungi hutan. Selain itu, banyak konflik tenurial terjadi karena kurangnya penghormatan terhadap hak asasi manusia.
“Hukum di Indonesia tidak memadai dalam mengakui hak atas tanah masyarakat adat, bahkan seringkali tidak mengakui hak-hak masyarakat adat. RUU Masyarakat Adat pun hingga saat ini masih macet di DPR dan belum diadopsi. Oleh karena itu, menjadi penting bagi Komisi UE untuk menjamin bahwa penghormatan terhadap hak asasi manusia, khususnya hak atas tanah & hak masyarakat adat, akan dipertahankan dalam naskah akhir”, tegas Palupi.
Kepala Advokasi SPKS, Marselinus Andri mengatakan sebagai salah satu organisasi petani, terutama petani swadaya di Indonesia, SPKS mengapresiasi rancangan regulasi Uni Eropa yang diusulkan oleh Komisi Eropa karena rancangan peraturan UE, jika diterapkan, akan sangat penting bagi petani sawit di Indonesia, terutama petani swadaya.
Lebih lanjut, Andri mengatakan bahwa rancangan peraturan ini akan membantu petani swadaya untuk diakui secara hukum maupun dalam rantai pasok karena adanya persyaratan soal traceability.
Secara khusus, SPKS sangat mendukung amandemen parlemen UE tentang kemitraan dengan negara produsen untuk mengatasi tantangan yang dihadapi petani kecil, dukungan teknis dan keuangan untuk geolokasi, dan dukungan untuk kepatuhan petani, termasuk melalui investasi, peningkatan kapasitas dan mekanisme penetapan harga sebagaimana diatur dalam pasal 10 ayat 4 rancangan aturan UE.
“Hal ini harus dituangkan dalam roadmap yang akan diimplementasikan melalui kemitraan antara pembeli, produsen, dan petani kecil, yang diawasi oleh UE, yang bertujuan untuk menjamin akses pasar bagi petani kecil, mendukung petani kecil, praktik berkelanjutan, dan inisiatif konservasi hutan”, tegas Andri.
Menurut Andri, selain pembentukan peta jalan, UE harus membantu petani sawit di Indonesia dengan mengembangkan mekanisme pemberian dukungan yang konkret.
“Terkait dengan surat yang dikeluarkan oleh Gabungan Industri Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) pada tanggal 7 November, perlu kami tegaskan bahwa SPKS telah membuktikan bahwa ketertelusuran ke kebun bersama dengan geolokasi yang dikombinasikan dengan penerapan NoDeforestation adalah mungkin bagi anggota petani kecil kami, dan hal ini tentu bertentangan dengan klaim yang dibuat GAPKI dalam suratnya,” tegas Andri.
Andri menambahkan bahwa petani sawit anggota SPKS telah menerapkan produk sawit bebas deforestasi, menggunakan pendekatan HCS yang dikembangkan oleh multistakeholder yaitu LSM, pedagang, pasar & petani kecil.
“Atas dasar tersebut, kami mengharapkan agar regulasi ini juga mengatur tuntutan yang lebih kuat kepada pasar UE supaya menerapkan kuota minimum untuk membeli produk dari petani kecil sebagai prioritas." pungkasnya.